BAJAK LAUT TOBELO



Orang Tobelo asli dikenal sangat peraturan dan patuh. Mereka memiliki budaya canga atau merantau jauh untuk memenuhi kebutuhan hidup di lautan meskipun menghadapi berbagai tantangan (Djawa 2013; Djirubasa, 2013). Jika diserukan perang, maka seluruh orang Tobelo mengambil bagian dalam perang tersebut. AB Lapian (1983) dalam tulisannya Pelayaran Orang Tobelo pada abad ke XVIII dan XIX, menulis bahwa sekitar pertengahan abad ke-19, kawanan perompak Filipina mendapat saingan baru: kawanan perompak Tobelo. Pada tahun 1850, Angkatan Laut Belanda melaporkan bahwa di pantai utara Jawa Timur, mereka diserang oleh tidak kurang dari 15 perahu bajak laut Tobelo. Perahu-perahu yang digunakan para perompak cukup besar, didayung puluhan orang, dan setiap perahu memuat sekitar 60 orang lengkap dengan meriam, senjata api, dan amunisi.


Pada tahun 1852, Angkatan Laut Belanda juga melaporkan terjadinya serangan di perairan Flores dan Sumbawa. Dari para perompak yang berhasil ditangkap, diketahui bahwa para perompak tersebut berasal dari Tobelo dan hanya sebagian yang berasal dari Mindanao yang dipimpin Syarif Takala. Perompak Tobelo juga beroperasi di Kalimantan dan Sulawesi Utara. Di Pulau Buton, bahkan ada utara satu daerah yang bernama Labuhan Tobelo karena di tempat itulah perompak Tobelo membuang jangkar dan merompak (Zuhdi, 2014: 127).


Kesan takutnya perompak Tobelo tersebut, menurut Anceaux (1987), menjadikan istilah Tobelo di Buton dimasukkan ke dalam kamus bahasa Wolio yang berarti “perompak”, “raksasa”, dan “penggertak” (Zuhdi, 2014:176).


Salah satu pemimpin Bajak Laut Tobelo yang sangat di takuti bernama Lobo/Laba yang pada 1855 tertangkap ketika bersembunyi di Gamhoku, Tobelo. Lobo/Laba ditangkap setelah kapal perang Vesuvius yang dikirim Residen Ternate Stierling ke Tobelo menuntut penyerahan Lobo/Laba, tetapi tidak diindahkan. Vesuvius pun menembak ke Gamhoku hingga rata dengan tanah yang membuat ibukota dipindahkan ke Gamsungi (Amal, 2012: 85-86).


Sumber: Buku "Pappatamma (Perlindungan Perempuan dan Anak Berbasis Kearifan Lokal di Indonesia" oleh Tim Penulis Agupena, halaman 76-78 (2016).


Ket. Foto: Dua prajurit dari Tobelo, Halmahera 1896

Edit Foto : @adrianmantara 

Sanggar Budaya Gogaro Nyinga 

@penggemar berat 



Mamuya, 11 Mei 2024


(***)