Makan Kubis, Anakku Pintar dan Cerdas

“Miskin, sih, miskin, tapi mbok jangan keterlaluan. Setiap hari kok, makannya kubis kelotokan! Di rumahku, kelotokan kubis hanya untuk pakan marmut!”

            Bukan sesekali dua kali kalimat semacam itu keluar dari bibir Maysaroh setiap kali melihat Mak Parmi menjemur kubis kelotokan sisa-sisa yang diambilnya dari bakul sayuran. Namun, Mak Parmi hanya diam, tidak pernah menanggapi hinaan itu meski hatinya pedih.

            “Heh Mak Mi, anak-anaknya mbokyo dikasih makanan yang bergizi, biar otaknya cerdas, jangan cuma ngais kubis sisa-sisa!”

            “Anaknya Mak Mi cerdas kok, Buk!” timpal Ajeng, anak bungsu Maysaroh. “Mbak Wati habis menjuarai olimpiade SAINS tingkat kabupaten, dia juga juara lomba pidato, menciptakan puisi, dan menulis cerpen mewakili sekolahnya.”

            “Diam kamu, cah sayang! Jangan ikut-ikutan orang tua bicara!” deliknya.

            “Habis Ibuk ngatai Mbak Wati terus, sih, padahal kenyataannya Mbak Wati pinter.”

            Mak Parmi tidak mau mendengarkan lebih jauh lagi, segera ditinggalkannya tampah berisi kubis kelotokan dan masuk ke dalam rumah. Namun, di balik pintu sang putri kebanggaannya menatap dengan kedua mata berkaca-kaca, ia baru pulang sekolah, masih mengenakan seragam abu-abu putih.

            “Gendhuk sudah makan belum?”

            Wati menggeleng, hatinya sangat pedih mendengar hinaan Maysaroh. Ia tidak tahu salah satu keluarganya, tapi Maysaroh seperti menyimpan kebencian terhadap mereka. Bibirnya begitu mudah melayangkan kalimat-kalimat yang menyakitkan.

            “Mbak Saroh menghina Simak lagi.”

            “Tidak usah didengarkan, nanti juga capek sendiri kalau dibiarkan.”

            “Kenapa Bapak tidak sekaya Lik Narto sih, Mak?” ucapnya. “Kalau Bapak kaya, paling tidak kita tidak perlu dihina-hina terus.”

            Narto adalah adik bungsu Mak Parmi, satu-satunya saudara yang sukses dengan usaha konveksinya, tapi jangan berpikir bahwa mereka bisa numpang hidup enak. Mak Parmi dan keluarganya harus berjuang keras demi sesuap nasi. Wati sendiri pun harus bekerja paruh waktu agar tetap bisa sekolah, menjahit keset dari kain-kain perca sekadar untuk membeli buku LKS.

            “Bapak sudah berjuang keras berjuang di usia orang tuanya untuk kita, tidak sepantasnya kamu bicara seperti itu, Nduk.”

            Wati tertunduk, ia menyadari kesalahan ucapannya. Bapaknya memang sudah memasuki usia pensiun, namun masih tetap dipaksa bekerja untuk menghidupi keluarganya. Wati adalah anak sulung, kedua orang tuanya sudah sepuh mengingat ia lahir setelah 25 tahun penantian sehingga di usianya yang masih remaja, kedua orang orang tuanya telah memasuki masa tua.

            “Maaf, Mak.”

            “Sudah, tidak apa-apa, jangan diulangi lagi, ya, apa lagi di depan Bapak, nanti hati Bapak terluka.” Wati mengangguk menyesal. “Sebaiknya sekarang makan siang dulu, setelah itu baru lanjut buat keset lagi.”

            “Iya, Mak.”

            Kubis kelotokan sisa yang dijadikan bahan untuk menghina Mak Parmi, menjadi bahan makanan yang sangat berharga untuk keluarganya. Mak Parmi mengolahnya menjadi urap, kadang sayur bening seperti menu makan siang kali ini, membantu anak-anaknya mengisi tenaga untuk melanjutkan aktifitas yang tidak ringan.

            Usai makan siang dan mengganti seragam sekolahnya, Wati beranjak mengambil karung berisi kain perca yang dibelinya secara kiloan. Benda awul-awul itu sangat bermanfaat ia gunakan sebagai bahan kerajinan yang dapat dijual.

            Mengeluarkan seluruh isinya, Wati mulai berkutat mengumpulkan motif per motif kain, lantas memotonginya satu persatu menggunakan gunting, membentuk segi empat yang tak melulu sama rata, lantas menatanya ke dalam kardus bekas mi instan.

            Menjadi rutinitasnya sepulang sekolah, ia berkutat dengan pekerjaan yang menyita waktu, jarang baginya bermain bersama teman-teman sebayanya sebagaimana anak remaja pada umumnya. Tak ada pilihan lain, tuntutan hidup membuat Wati kehilangan masa remajanya. Wati sendiri yang ngotot ingin tetap melanjutkan sekolah SMA meski kedua orang tuanya sudah terang-terngan mengaku tidak sanggup membiayai, artinya ia harus bertanggung jawab dengan pilihannya.

Wati  harus bekerja keras agar tetap bisa sekolah. Ia tidak ingin menanggung rasa malu lagi seperti sebelumnya saat menjadi satu-satunya siswa yang belum memakai seragam batik di sekolahnya.

Seragam batik hanya dibagikan kepada siswa yang sudah melunasi biaya daftar ulang, sementara hingga berbulan-bulan sejak masuk SMA, Wati baru membayar seperempatnya. Dan selama berbulan-bulan pula ia harus menahan malu harus mengenakan seragam OSIS di saat teman-temannya memakai seragam batik.

Wali kelasnya menyuruh Wati datang menghadap guru BK, Wati hanya bisa menahan tangis ketika ditanya sebab belum memiliki seragam batik. Melalui kerja kerasnya menjahit keset, akhirnya ia berhasil melunasi daftar ulang dan mendapat batik. Namun, bukan berarti perjuangannya telah selesai, ia justru harus lebih giat lagi menjahit untuk dua tahun ke depan hingga lulus.

            Usai memotong-motong kain perca, Wati lanjut membuat pola keset dari kardus bekas, setelah itu duduk di depan mesin jahit tua yang dibeli bapaknya dengan susah-payah. Lincah tangannya melipat kain perca membentuk segitiga dan menjahitnya satu persatu hingga membentuk keset kaki. 

            Sekodi dihargai 35 ribu, harga yang cukup untuknya membeli beberapa LKS. Wati harus ngebut menjahit minimal sehari 10 buah keset atau setengah kodi agar uang yang dihasilkan ada sisa untuk disimpan, sewaktu-waktu ada tugas ia tidak perlu bingung mencari biaya warnet.

Perhatiannya dari mesin jahit teralihkan kala Ajeng datang sembari memanggil-manggil namanya. Bocah kelas 3 SMP itu membawa sebuah mika berisi nasi kuning.

            “Mbak Wati sudah makan?” tanyanya.

            “Sudah.”

            “Ini, dikasih selamatan sama Ibuk.”

            “Wah, terima kasih ya,” senyumnya. Wati bangkit dari kursi plastik yang didudukinya dan meraih mika nasi kuning dari Ajeng.

            “Ibuk bilang, ini ucapan terima kasih Bapak diangkat jadi mandor sama Lik Narto.”

            Tubuh Wati mendadak terdiam, nanar ia menatap bungkusan nasi kuning di tangan. Hatinya sedih, Lik Narto justru mengangkat orang lain menjadi mandor di konveksinya alih-alih mengangkat kakaknya sendiri.

            Kesedihannya belum hilang ketika teriakan cempreng Maysaroh terdengar memanggil-manggil Mak Parmi.

            “Mak Mi, Mak Mi! Mas Joko diangkat jadi mandor!” serunya, semakin keras terdengar seiring kemunculannya, menghampiri Mak Parmi yang tengah membatik di dapur. “Aku akan menjadi orang kaya. Lihat, adine sampean lebih percaya pada Mas Joko dibanding pada Dhe Munir! Suamiku jadi mandor, lha suami sampe selamanya jadi tukang sapu, makan kubis kelotokan setiap hari!”

            Diam-diam Wati menitikkan air mata. Betapa lelahnya hidup susah, bukan hanya lelah harus bekerja keras, tapi juga lelah mendapat hinaan dari orang-orang seperti Maysaroh.

            “Kenapa Lik Narto lebih peduli pada Lik Joko dibandingkan pada Bapak, Mak?”

            Mak Parmi tak mau menatap sang putri, tangannya gemetar memegang canting. “Jangan mengharap belas kasihan dari siapa pun, Ti. Berjuanglah sendiri dengan kedua tanganmu. Hari ini kamu memang susah, tapi dengan usaha keras dan doa, kamu bisa mengubah keadaanmu tanpa menggantungkan diri pada orang lain. Simak doakan siang malam, kelak dewasa kamu akan menjadi anak yang sukses, anak kebanggaan Simak dan Bapak yang akan mengubah keadaan keluarga.”

            Sejak saat itu, yang ada di pikiran Wati hanyalah bagaimana caranya meraih kesuksesan dengan kedua tangannya.


(***)