SUKU BALIK



Suku Balik (alias Paser Balik secara suku sakat) adalah kelompok etnis yang mendiami Sepaku di Penajam Paser Utara dan Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Suku Balik dianggap sebagai salah satu sub-suku dari suku Paser, padahal menurut Sibukdin, kepala adat Balik, suku Balik bukan merupakan bagian dari suku Paser dan merupakan suku yang berbeda.


Nama Kota Balikpapan diambil dari nama suku ini, yakni pada kata "Balik", dan kata "Papan" berasal dari masyarakat suku Balik yang dahulu dikenal sebagai penyuplai papan untuk Kerajaan Kutai Kartanegara. Saat ini, suku Balik merupakan minoritas di Balikpapan dan Penajam Paser Utara. Di Penajam Paser Utara, tepatnya di kecamatan Sepaku, jumlahnya tidak lebih dari 1.000 jiwa atau 200 KK pada tahun 2023, yang tersebar di tiga wilayah, yakni di Bumi Harapan, Sepaku, dan Pemaluan.


Wilayah adat suku Balik juga termasuk ke dalam proyek pembangunan IKN Nusantara, yakni pemindahan ibu kota negara Indonesia dari Jakarta ke Nusantara. Dalam proyek ini, ratusan rumah warga suku Balik terancam direlokasi akibat proyek penanganan banjir Sungai Sepaku. Sedangkan menurut pengakuan Gubernur Kalimantan Timur, Isran Noor, tidak ada suku asli di kawasan IKN, karena awalnya merupakan hutan alam dan berubah menjadi hutan produksi. Seiring pengembangan itu mulai datang penduduk yang menempati daerah tersebut termasuk para transmigran.


Pada abad ke-18, suku Balik mengabdi kepada Kerajaan Kutai Kartanegara dan Kesultanan Paser. Menurut Sibukdin, “Saat itu, sudah ada batas-batas wilayah yang ditempati suku Balik dengan suku lainnya”. Wilayah suku Balik berbatasan dengan wilayah suku Kutai disebuah tempat bernama Gunung Parung. Kemudian bertepatan dengan suku Paser di Sungai Tunan. Wilayah tersebut pernah merupakan hadiah pernikahan Sultan Paser kepada putrinya yang menikah dengan bangsawan Kutai.


Dahulu suku Balik hidup di hutan, ada lima gua yang menjadi tempat penghidupan bagi mereka, yakni Gua Tembinus, Bekayas, Belatat, Parung, dan Liang Tulus. Di gua-gua itulah, suku Balik mengambil sarang burung walet hitam dan kemudian ditukar dengan beras. Suku Balik juga belum mengenal sayur-sayuran, seperti wortel, dan sebagainya. Semua sayuran merupakan tanaman liar di hutan. Untuk daging, merupakan hasil berburu kijang (dalam bahasa Balik disebut payau), rusa, atau kelinci.


Pada tahun 1942, ketika itu terjadi pertempuran besar di wilayah adat suku Balik di Balikpapan. Saat itu, suku Balik hidup di pesisir Kota Balikpapan, daerah kekuasaan Kerajaan Kutai Kartanegara di bawah kepemimpinan Sultan Adji Muhammad Sulaiman. Ketika terjadi perang, warga yang ketakutan bersembunyi di pedalaman hutan. Mereka berada di batas terakhir wilayah adat yang kini menjadi kecamatan Sepaku. Pada masa penjajahan Jepang (1940-an) inilah awal mula pemukiman suku Balik di wilayah tersebut, meskipun ada yang mengklaim lebih awal seperti sejak zaman penjajahan Belanda.


Sekitar tahun 1970-an, Pemerintah Indonesia membuat program transmigrasi dari Pulau Jawa ke wilayah yang jarang penduduknya di luar Jawa, salah satu wilayah tersebut adalah wilayah Sepaku-Semoi. Para transmigran ini kemudian diberi sebidang tanah yang luasnya satu hektar, lengkap dengan legalitas dari pemerintah. Seiring datangnya transmigran, Sepaku juga kedatangan perusahaan hutan tanaman industri dan perkebunan sawit. Tanah-tanah milik suku Balik mulai dijualbelikan. Saat ini, masyarakat suku Balik belum memahami pentingnya legalitas tanah. Ladang-ladang yang mereka miliki bisa dijual dengan harga murah, sesuai kebutuhan. Hal inilah yang kemudian lama-kelamaan mereka kehilangan tanahnya.


Silahkan yang ingin request pembahasan , bisa langsung Personal Message saya.


Jangan lupa follow saya untuk mendapatkan informasi unik berikutnya ya .


#Sejarah #FaktaSejarah #SukuBalik #Balik #Kalimantan