HAK PERAWATAN WANITA DALAM HINDU


Oleh : Ardhana Wijaya Saputra 


Perkembangan kehidupan yang kian maju tidak membuat kedudukan perempuan setara dengan laki-laki. Bahkan di Bali, dalam sistem pewarisan, masih ada diskriminasi. Ada pandangan di masyarakat Hindu, khususnya di Bali, yang menganggap anak pria saja berhak mewaris. Namun jika diperhatikan lebih jauh pasal-pasal hukum Hindu mengenai warisan, ternyata masih ada ketentuan lain yang memungkinkan anak wanita sebagai pewaris.


Dalam Manawa Dharmasastra IX. 127-139 diuraikan bahwa anak perempuan juga berhak sebagai pewaris, yaitu :


A. Jika anak wanita itu diangkat statusnya menjadi status pria (putrika), anak itu akan berhak menjadi pewaris seperti anak pria. Hal ini terkait dengan upacara sraddha (pitra yajna). Upacara ini secara tradisi dilakukan oleh anak pria, namun jika tidak ada anak pria dalam keluarga, perubahan status dari anak wanita ke status pria dianggap perlu dilakukan. Jadi perubahan status ini bukan karena warisan. Demikian juga untuk meneruskan keturunan. Jika keluarga tidak mempunyai keturunan pria sebagai penerus, orang tua dapat mengubah status anak wanitanya. Hal ini secara tidak langsung mempengaruhi bentuk perkawinannya yaitu patrional menjadi matrional.


B. Anak wanita yang belum kawin harus diberi warisan sebesar seperempat bagian perolehan anak pria. Norma ini dijelaskan dalam Manawa Dharmasastra IX. 118, yang pada hakekatnya hal itu dianggap memberikan kedudukan bagi anak wanita untuk memperoleh haknya dengan pasti menjamin anak itu belum kawin pada saat pembagian warisan. Anak wanita yang sudah kawin dianggap "keluar". Sebab itu dia tidak berhak memperoleh perolehan itu, kecuali harta pemberian yang diberikan kepada pewaris, baik sebelum kawin maupun sebagai hadiah perkawinan; atau diperoleh dari saudara-saudaranya.


C. Ibu dan nenek (wanita) bisa menjadi pewaris. Dalam Manawa Dharmasastra IX. 217. tahun. 257Disebutkan, wanita sebagai pewaris, yaitu ibu sebagai pewaris; jika memiliki meninggal tanpa turunan. Jika Si ibu tidak ada (meninggal) maka harta warisan akan diwarisi neneknya.


Maka dapat dikatakan, ada dua pendapat hukum dalam bidang pewarisan Hindu. Pertama, pendapat bahwa wanita tidak berhak mewaris. Kedua, pendapat anak wanita juga berhak mewaris sebagaimana anak pria lainnya, hanya saja besaran perolehannya tidak sama. Dalam Manu Smerti, bab IX. 105 di sebutkan kekuasaan yang diberikan orang tua kepada anak pria tertua sebagai penggantinya. Adik-adiknya harus tunduk pada kakaknya itu sebagaimana mereka tunduk pada orang tuanya ketika masih hidup. Hal itu harus berlaku bahwa kedudukan anak tertua sebagai pengganti orang tua; ia sebagai pemegang kekuasaan. Dalam hukum adat Bali ini disebut hukum mayorat (kebapaan).


Dalam bab IX. 104 dan 111 dijelaskan, untuk kebahagiaan maka harta benda harus dibagi. Kekuasaan dapat diberikan kepada anak pria lainnya yang lebih muda. Jika sifat anak sulung itu meremehkan, orang tua berkuasa menentukan kepada siapa yang akan mengurus harta benda tersebut kelak setelah ia meninggal. Dalam hukum Hindu membagi warisan atau tidak, tergantung atas kemanfaatannya. Jika dengan berbagi itu akan lebih bermanfaat bagi anggota yang berhak, berbagi itu akan lebih baik daripada tidak berbagi. Jadi asas mayorat tidaklah mutlak.


Manu Smerti IX. 139, menguraikan asas parental juga berlaku dalam pembagian waris. Diuraikan, anak cucu dari anak pria maupun cucu dari anak wanita, tidak ada perbedaan, karena cucu dari anak wanita itupun akan menyelamatkan dirinya seperti halnya cucu dari anak pria. Hukum Hindu dalam warisan tidak menganut asas manunggal, melainkan masih memungkinkan berlakunya kedua asas kekeluargaan itu.


Tidak semua harta warisan bisa dibelah, karena dikenal berbagai jenis harta yaitu harta warisan yang tidak boleh dibelah (harta pusaka yang bernilai ekonomi atau tidak seperti tempat suci, benda-benda sakral). Harta warisan yang boleh dibagi adalah harta warisan yang berwujud dan harta warisan yang tidak berwujud, yakni semua harta warisan yang dibawa dalam perkawinan. Juga ditegaskan harta bapak yang diwariskan kepada anak pria sedangkan harta ibu diwariskan kepada anak wanita. Terhadap harta bapak yang dibawa ke dalam perkawinan, baik pusaka atau tidak, anak wanita berhak mewarisinya saat ia masih gadis, jika terjadi pembagian waris, walaupun hanya seperempat bagian anak pria. Tetapi jika anak wanita kawin, pembagiannya berdasarkan sukarela.


Perlu dipahami, perkawinan dalam agama Hindu menempatkan istri sebagai sesuatu yang tak terpisahkan dari suami. Itu berarti apa yang diwarisi atau dimiliki suami juga merupakan hak dan milik istri. Harta waris yang berfungsi sebagai penanggung beban, sepatutnya tidak diberikan pada anak wanita yang kawin (bukan sentana rajeg).


Selama ini sering orang salah menilai kedudukan wanita Bali. Umumnya kedudukan wanita Bali baik yang sudah kawin maupun belum, tidaklah hina dalam kekeluargaan yang bersifat kebapaan.


(***)