Raja Pajajaran Asal Sunda - Jawa Barat
Bagi masyarakat Sunda di Jawa Barat, nama Raja Pajajaran terakhir, Prabu Siliwangi adalah nama yang tak pernah lekang dalam ingatan. Nama dan kisahnya menjadi cerita-cerita penting untuk disampaikan kepada anak cucu. Prabu Siliwangi putra Prabu Anggalarang dari kerajaan Galuh. Ia aslinya bernama Pamanahrasa.
Ada satu kisah yang tidak akan pernah terkikis dari ingatan masyarakat dan abadi dalam sejarah, yakni tatkala Prabu Siliwangi menghilang tanpa jejak pasca dimintai anaknya, Prabu Kian Santang untuk menerima Islam.
Beberapa pihak menyebut bahwa Prabu Siliwangi berubah menjadi Harimau untuk menghindari permintaan Prabu Kian Santang. Kisah ini menjadi cerita legendaris dalam sejarah kerajaan pajajaran tersebut.
Selain kisah yang melegenda itu, barangkali tidak banyak yang tahu perjalanan Prabu Siliwangi yang jatuh cinta pada Nyai Subang Larang sehingga melahirkan Prabu Kian Santang. Kisah ini dapat kita temukan dalam Carita Purwaka Caruban Nagari (CPCN) karya Pangeran Arya Cerbon.
Ditulis tahun 1720, CPCN mencatat nama asli Nyai Subang Larang adalah Kubang Kencana Ningrum. Ia putri Ki Gedeng Tapa yang lahir pada tahun 1404. Ki Gedeng seorang syahbandar atau pemimpin pelabuhan Muara Jati di pantai Utara Jawa Barat. Pada masanya, pelabuhan ini termasuk ke dalam kekuasaan kerajaan kecil Singapura.
Ketika itu, Jawa Barat berada dalam kekuasaan dua kerajaan besar yang saling berkerabat, yaitu Galuh yang berpusat di Ciamis dan Sunda yang berpusat di Pakuan Pajajaran atau kita kenal sekarang dengan nama Bogor. Keduanya menguasai kerajaan-kerajaan kecil seperti Singapura, Japura, Wanagiri, dan lain-lain. Kerajaan Sunda dipimpin oleh saudara Prabu Anggalarang yang bernama Raja Susuk Tunggal.
Sejarah mencatat, pada tahun 1415, armada asal Tiongkok pimpinan Laksamana Zheng He atau Cheng Ho berlabuh di Muara Jati. Armada inilah yang mulai memperkenalkan Islam ke Jawa Barat.
Maka dalam perjalanannya, pengaruh Islam semakin kuat dengan tibanya Syekh Hasanuddin bin Yusuf Sidik. Ulama Islam ini datang dengan menumpang sebuah perahu dagang yang berangkat dari Campa, tanah yang kini ditinggali oleh orang-orang Vietnam dan Kamboja.
Kedatangan Syekh Hasanuddin masih diperdebatkan. Ada yang menyatakan datang bersama dengan armada Laksamana Cheng Ho, ada pula yang menyebutkan bahwa ia datang tiga tahun setelahnya.
Di saat-saat inilah Ki Gedeng Tapa akhirnya memeluk Islam. Selanjutnya Syekh Hasanuddin pindah ke Karawang dan mendirikan Pesantren Quro di daerah Pura, Desa Talagasari. Ia kemudian dikenal sebagai Syekh Quro. Ki Gedeng menitipkan anaknya untuk berguru di Pesantren Quro. Belajar selama dua tahun kepada ulama asal Campa ini, Kubang Kencana Ningrum disematkan gelar Sub Ang Larang yang berarti Pahlawan Berkuda.
Kala Nyai Subang Larang menyantri di sana, Pamanah Rasa yang kebetulan lewat pesantren tersebut. Tak sengaja mendengar suara Nyai Subang yang merdu, ia langsung jatuh hati.
Pamanah Rasa kemudian meminang Nyai Subang Larang. Ia ingin menjadikannya istri yang menemani sehidup semati. Nyai pun tak menolak pinangan tersebut. Mereka akhirnya menikah.
Pamanah Rasa yang telah menjadi pemimpin kerajaan Singapura, tak lama setelahnya diperangi oleh Amuk Marugul, penguasa kerajaan Japura. Pamanah akhirnya menjadi pemenang dalam pertarungan antarnegeri kecil itu.
Ia selanjutnya pergi ke Pakuan bertemu Kentring Manik Mayang Sunda, adik Amuk Marugul. Kentring merupakan putri dari Raja Susuk Tunggal yang juga kakak dari ayahnya.
Terpikat dengan Kentring, ia kemudian menikahi putri Susuk Tunggal tersebut meskipun telah beristri Nyai Subang Larang. Melihat kecakapan Pamanah, Raja Susuk Tunggal kemudian mengangkatnya menjadi putra mahkota.
Singkat cerita, Nyai Subang ikut diboyong ke keraton Pakuan Pajajaran dan menjadi istri Raja Prabu Siliwangi bersama istri Pamanah lainnya. Nyai Subang akhirnya wafat dan meninggalkan anak-anaknya yang kemudian keluar dari keraton untuk mengislamkan seluruh tanah yang didamimi oleh suku Sunda ini.
(***)