MITOS INA NENGGU DAN KOPA LA KOKA


Pada jaman dahulu di negeri antah berantah para dewa dan dewi sejagat raya bermusyawarah untuk membangun sebuah gunung dengan menggunakan “berak”. Mereka bersepakat bahwa tempatnya berada di daerah ujung Bima (sampai = sampe, sape menurut lidah orang Bima) dan harus selesai dalam semalam. Apabila lewat waktunya, maka ada sanksi yang akan diberikan oleh pemimpin mereka.


Setelah waktu yang ditentukan, mereka mulai mengerjakan pekerjaan yang dituangkan dengan suka cita karena menurut pemikiran mereka tugas ini sangatlah ringan karena hanya membuang hajat yang tidak perlu memerlukan tenaga dan biaya. Mereka bekerja sambil mendenderangkan syair dan lagu. Tanpa terasa hari sudah mulai pagi dan mentari sudah berada di ufuk Timur.


Sayangnya, salah seorang dewi yang ternyata berasal dari Jawa tidak bisa lagi mengepakkan sayapnya karena matahari sudah tampak berarti kekuatannya sudah hilang. Dia sangat sedih melihat saudara-saudaranya yang sudah terbang meninggalkannya. Mereka memanggil-manggil “Neng “ (biasanya orang Jawa memanggil saudaranya dengan sebutan itu) tunggu. Maksudnya adalah menunggu pada waktu yang akan datang mereka akan menjemputnya. Neng….tunggu, neng ….tunggu neng…tunggu, neng….gu dan yang terdengar adalah suara “Nenggu” saja.


Masyarakat yang ada di sekitar tempat tersebut merasa kaget dengan adanya berak yang bersusun-susun (Na Kabjuku Wekina) dan tiba-tiba membentuk sebuah gunung. Hal yang membuat mereka lebih kaget lagi yaitu hadirnya seorang perempuan cantik jelita yang tiada tandingannya sedang menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya yang malang . Oleh masyarakat setempat menemukan “Nenggu” karena mereka mendengar suara tersebut dari atas langit. Seperti gunung tersebut di namai gunung (Doro) Kabuju.


Sementara itu di Sape sendiri terdapat seorang pemuda ganteng yang gagah berani dan sakti mandraguna. Ia bernama La Koka. Ia lahir dari keluarga miskin namun tahu adat dan memegang prinsip hidup dengan aturan norma dan tatakrama. La Koka mendengar kabar bahwa ada seorang cantik yang sedang menangis selama tiga hari. Ia punya niatan untuk membantu karena La Koka adalah seorang pemuda yang ringan tangan dan suka membantu.


Alangkah kagetnya ia setelah berhadapan dengan si Nenggu, sebab yang dilihatnya bukanlah manusia biasa. “Aduhai, perikah ataukah manusia yang kutemui sekarang? Namun tidak ada jawaban yang sama sekali. Berkali-kali La Koka menghiburnya tetap tidak ada sahutan. Untuk itulah maka dia segera mengheningkan cipta di gunung Sangiang meminta petunjuk dari Sang Hyang Widhi Wasa. Tiba-tiba meletuslah gunung Sangiang dan terdengarlah bisikan “Nenggu bukanlah manusia biasa tetapi seorang dewi kayangan yang menjadi manusia karena kekuatannya sudah lenyap”.


Rasa ingin tahunya tentang si Nenggu semakin besar dan semakin besar pula hasratnya untuk membantu. Pertemuan demi pertemuan telah dilalui oleh mereka dan benih-benih kasmaran mulai tumbuh di hati mereka berdua. La Koka sudah tidak tahan, untuk itulah maka ia hendak meminangnya untuk dijadikan istri. 


Apakah kanda tidak menyesal? Tanya si Nenggu. Apa yang harus kanda sesali? La Koka balik bertanya. Dinda bukanlah golongan kanda yang sudah pasti adat dan tradisinya yang lain, Nenggu meyahut. Adat bukanlah batu sandungan yang bertujuan untuk mempersuntingmu, jawab La Koka. Bagaimana dengan Ina dan Ama mu? Ina dan Amaku selalu memberikan kebebasan padaku untuk mencari pendampingku. Pokoknya mereka semuanya menyerahkan padaku.


Tapi dinda takut kanda tidak mampu memenuhi satu persyaratan sebagai mahar untukku. Apakah maharmu itu, wahai bidadariku Tanya La Koka dengan suara sendu. Kanda, Aku hadir di sisimu karena sebuah gunung, maka dinda memintamu untuk mendatangkan sebuah gunung yaitu gunung Monta (Gunung yang berada di Kecamatan Monta, sebelah Selatan Kecamatan Woha Kabupaten Bima) sebagai lambang perpaduan cinta kasih kita berdua. Sanggupkah kanda? Nenggu memelas. Jangankan satu gunung, seribu gunungpun akan kanda datangkan, La Koka menyanggupinya.


Hari sudah mulai malam sekali lagi La Koka meminta petunjuk pada Sang Hyang. Dengan bersujud sebanyak seribu kali dan melakukan semedi selama tiga hari tiga malam La Koka akhirnya mendengar bisikan yang diawali dengan keluarnya lahar dari gunung Sangiang. Adapun bisikan itu adalah “Tariklah napas dalam-dalam kecakapan kemampuanmu, alirkan pada mata dan kedua tanganmu, pusatkan perhatianmu pada gunung Monta, ucapkanlah dalam batinmu. wahai gunung Monta tunduklah pada perintahku”.


Keesokan harinya di hadapan si Nenggu, La Koka mulai melakukan ritualnya. Saat itu gunung Monta sudah bersandar di samping gunung Kabuju. Wahai kanda tercinta sekarang diriku seutuhnya kuserahkan padamu, Nenggu bersuka cita.


Maka dilangsungkanlah pernikahan mereka selama tiga hari tiga malam. Namun pada hari ketiga terjadilah bencana yang harus memisahkan mereka. Tiba-tiba di tengah keramaian itu, tak terasa keluarlah sebuah suara yang sangat keras dari si Nenggu, suara kentutnya. La Koka kaget, semua mata teringat pada mereka berdua. Dengan nada marah La Koka menimpali “Mengapa dinda kentut di tempat keramaian?”. Itu pamali bagi kami, dasar perempuan tak tahu adat!. Bagai kuda lepas kendali keluarlah sumpah serapah dari La Koka “Jadilah kamu sebuah batu yang menunggu Doro Kabuju”. Beberapa saat kemudian Nenggu berubah menjadi batu. La Koka menyesal, namun apa daya nasi sudah menjadi bubur. La Koka menangis memeluk istrinya yang sudah menjadi batu. Dengan marahnya ia naik ke atas doro Kabuju. Dengan kekuatannya yang melompat, dalam sekejap ia sudah menghilang dari pandangan mata. Ia pergi dengan rasa campur aduk, senang, bahagia, sakit hati, malu dan menyesal. Masyarakat hanya bisa melihat bekas telapak kaki yang membekas di atas batu. Sirna hilang karena ning bhumi begitu kata orang Jawa.


Itulah sedikit mitos orang Sape, sampai sekarang telapak kaki itu masih ada. Dan juga masyarakat Kowo melihat bahwa di gunung Kabuju Kowo ada bekas telapak kaki, itulah telapak kaki La Koka.


(***)