Selain Kiai Mojo dan Sentot Prawirodirjo yang asli Jawa, beberapa orang dalam lingkaran terdekat Pangeran Diponegoro adalah kaum peranakan. Sebagian dari mereka, selain memiliki hubungan darah dengan sang pangeran, juga dikenal sebagai gubernur dan ahli siasat. Dan Panglima Tempur dalam barisan Diponeroro dari kaum Peranakan itu adalah Pangeran Joyokusumo. Ia peranakan Cina & Jawa. 

Selain penampilannya yang berbeda, Pangeran Joyokusumo juga memiliki nyali dan kecerdasan di atas rata-rata. Ketika benteng keraton dibombardir pasukan Sir Thomas Stamford Raffles dalam peristiwa Geger Sepehi (19-20 Juni 1812), ia adalah satu dari sedikit pangeran yang memilih bertahan di dalam keraton menghadapi serangan itu.

Sikap tersebut berbeda dengan sejumlah pangeran yang memilih bersembunyi dan berpura-pura sakit, melarikan diri ke rumah keluarga istri mereka di desa-desa di sekitar keraton, atau mengungsi bersama keluarga ke komplek permakaman keraton di Imogiri.

Ketika Perang Jawa meletus, tujuh dari 19 putra Hamengku Buwono II bergabung dalam barisan Diponegoro, keponakan mereka. Mereka adalah Bintoro, Joyokusumo, Mangkubumi, Notodipuro, Purwokusumo, Singosari, dan Wiromenggolo.

Dari tujuh nama tersebut, hanya Joyokusumo dan Wiromenggolo yang selalu mendampingi Diponegoro di setiap pertempuran. Dibanding Wiromenggolo, hubungan Joyokusumo dan Diponegoro semakin dekat. Sebabnya, Joyokusumo memiliki banyak pengalaman dalam siasat perang. Lain itu, dia adalah besan Diponegoro.

Karena pengalaman tempurnya, ia diberi mandat sebagai komandan senior dan panglima komando. Di antara para penasihat dan ahli siasat Diponegoro, Pangeran Joyokusumo adalah salah satu yang paling dipercaya.

Tidak seperti Diponegoro dan Sayid Ibrahim Ba'abud (Peranakan Yaman) yang pada tahun 1830 ditangkap dan dibuang ke luar Jawa, sepak terjang Pangeran Joyokusumo terhenti dengan menjadi syahid di Gunung Kelir, Bagelen. Ia tewas bersama dua anaknya, Joyokusumo II dan Adikusumo, setelah disergap pasukan Belanda pada tanggal 21 September 1829.

Ketika berita kematian Pangeran Joyokusumo dan dua anaknya sampai ke telinga Diponegoro, ia sangat terpukul. Babad Diponegoro mengisahkan bagaimana perasaan sang pangeran tatkala mengetahui kabar duka itu. Ia nelangsa dan kehilangan ditinggal pengikut setianya. 

CC : Sejarah Kota

(***)