MANEKUNG



Bagi ajaran Jawadipa, penyembahan kepada Tuhan itu tidak diperlukan karena Tuhan tidak perlu disembah dan tidak diperintahkan penyembahan apapun. Dia sudah sempurna dari awal dan tetap sempurna hingga detik ini. Tak ada kekurangan dan tak ada yang tidak Dia miliki. Jika Dia meminta di sembah, artinya Tuhan masih kekurangan walaupun sekedar kurang pengakuan belaka. Tuhan yang minta disembah apalagi pencemburu ketika tidak disembah artinya belum bisa disebut Tuhan Sejati. Begitu menurut Jawadipa.

Ajaran Jawadipa mengenal manêkung, yaitu proses masuk ke dalam diri untuk mencari ruang hening di dalam mandi manusia, bukan ritual penyembahan. Keheningan tercipta ketika Idhêp (pikiran), rasa (perasaan), jinêm (kesadaran), yatna (ingatan) larut dan mengendap. Dalam kondisi seperti itu Yitma (Ruh) kita akan dengan mudah memberikan petunjuk secara gamblang. Manêkung adalah proses membiasakan mandi menjadi hening. Dan hanya dengan hening maka petunjuk Yitma (Ruh) akan mudah kami terima. Petunjuk Yitma (Ruh) adalah petunjuk Tuhan. Karena Yitma (Ruh) adalah bagian dari Sangyang Yitmajati atau Tuhan itu sendiri. 

Manêkung bisa dilakukan kapan saja. Lebih bagus menghadap ke wetan. Wetan artinya wiwitan atau asal. Menghadap ke wetan artinya menghadap kepada awal mula kita yaitu Tuhan itu sendiri. Mula pertama duduk bersila. Atur tubuh senyaman mungkin. Bersila bisa dengan cara kaki kiri berada di bawah ditumpangi oleh kaki kanan. Lebih nyaman memakai alas. Sesudahnya berikan sembah kepada Sanghyang Yitmajati atau Tuhan yang bertahta di dalam jiwa kita dengan bersembah dan membaca mantra :

“Hyang-Hyang Taya Yitmajati, têlênging tyas pandoming dumadi, daya-daya handayani, byar padhang urip sawiji.”


Sesudah bersembah tangan bersedekap. Pandang ujung hidung, pejamkan mata. Begitu mata terpejam sudah tidak lagi memandang ujung hidung. Bernafas dengan alami. Nikmati keluar masuknya napas. Pikiran, perasaan atau ingatan apapun yang muncul, bebaskan. Sejorok apapun, sekotor apapun, biarkan. Amati saja kehadiran mereka. Pada suatu titik semua akan larut dan lelah. Idhêp (pikiran), rasa (perasaan) dan yatna (ingatan) akan mengendap. Tinggal jinêm (kesadaran) yang tersisa. Di saat seperti ini berhati-hati karena jinêm (kesadaran) biasanya akan larut dan kita bablas tertidur karena nikmat dan tenang yang kita rasakan. Pertahankan jinêm (kesadaran). Nikmati ruang hening yang hadir. Nikmati ketenangan dan kedamaian yang ada. Pertahankan beberapa lama. Ketika sudah dirasa cukup, sudah manêkung. Angkat sembah kepada Sanghyang Yitmajati sambil membaca mantra :

“Hyang-Hyang Taya Yitmajati, waras, sugih, wibawa, rahayu.”


Manêkung selesai. Dengan membiasakan masuk ke ruang hening, maka petunjuk dari Yitma (Ruh) akan mudah kita terima dan akan menjadi pembimbing sejati bagi kita dalam melewati kehidupan. Siapapun Anda. Apapun agama Anda, bisa menjalani manêkung ini.

Madep,mantep,sowan dan ngarsaning Gusti.

#Bismillah

#RomoBambang


Sumber : Warta tradisi


(***)