Polemik Penobatan Sultan Agung Menjadi Raja Mataram

Sultan Agung dinobatkan menjadi Raja Mataram pada tahun 1613, kala itu beliau berumur 20 tahun. Penobatan Sultan Agung sebagai Raja baru Mataram selepas kewafatan ayahnya ini menimbulkan polemik, sebab dahulu Panembahan Krapyak pernah berpesan bahwa yang menggantikan dirinya menjadi Raja selanjutnya adalah anaknya yang lain yaitu Raden Martapura. Anehnya dinobatkannya Pangeran Agung menjadi Raja Mataram baru itu juga diakui sebagai wasiat dari Panembahan Krapyak. Timbul kegaduhan di dalam Istana mengenai wasiat kembar ini, wasiat mana yang benar..? berawal dari wasiat kembar itu lah kemudian polemik Penobatan Sultan Agung Menjadi Raja menguap.
Kisah mengenai dua wasiat kembar pada peristiwa penobatan Sultan Agung Menjadi Raja Mataram Islam itu dikupas oleh Purwadi dalam bukunya yang berjudul "Sejarah Raja-Raja Jawa", dalam bukunya tersebut. Menjelang wafatnya, Panembahan Krapyak menunjuk maksudnya, yakni Raden Mas Rangsang (Sultan Agung) sebagai penggantinya. Padahal sebelumnya Krapyak menjanjikan kepada putra yang lebih muda yakni Martapura (adik Sultan Agung) untuk menggantikannya.
Mengenai peristiwa ini babad Tanah Jawa menceritakanya lebih rinci, katanya “Pada waktu itu Sang Prabu (Panembahan Krapyak) menjadi raja Mataram selama dua belas tahun. Ketika dia sakit keras, dia berada di Krapyak dengan ditemani para putranya dan Sentana. Sang Prabu berkata kepada Eyang Adipati Mandaraka dan kakaknya Pangeran Purbaya”, katanya :
"Eyang, Ki Mas, kelak jika saya sudah tiada, yang saya tunjuk menggantikan saya adalah Den Mas Rangsang (Sultan Agung). Kerajaannya lebih besar dari saya. Seluruh orang di Jawa akan bersujud kepadanya.Tetapi berhubung dulu saya juga mempunyai cinta-cita Martapura menjadi raja, maka tolong Eyang, agar Martapura dinobatkan menjadi raja. Sebentar sebagai syarat ujaran saya itu kemudian menyerahkan takhta kepada Raden Mas Rangsang''. Sang Prabu lalu berkata kepada para putra sentana, ''Anak-anakku semua rukun-rukunlah dalam persaudaraan. Siapa yang mendahului berbuat jahat, tidaklah selamat. Sudah, selamat hidup''(WL Olthof, Babad Tanah Jawi , 2013: 247)
Memang awalnya Martapura diangkat menjadi raja oleh Ki Adipati Mandaraka dan Pangeran Purbaya. Pada buku sejarah Raja-raja Jawa karya Purwadi dijelaskan bahwa Martapura hanya menjadi raja sehari. Setelah itu ia segera meletakkan jabatannya dan mempersilahkan kakaknya untuk duduk di kursi kerajaan kemudian berlangsunglah penobatan raja baru yang akan memakai nama Sultan Agung, Senapati Ingalaga, Ngabdur Rachman. Mereka yang merasa tidak puas ditantang untuk maju ke depan, akan tetapi tidak ada seorang pun yang berani maju. Hal ini berarti semuanya menyetujuinya.
Sementara dalam Babad Tanah Jawi diceritakan bahwa pada saat itu Pangeran Purbaya berbicara dengan suara keras, ''Eh, setiap orang di Mataram, kalian jadilah Saksi bahwa Den Mas Rangsang dinobatkan menjadi Sultan, menggantikanka almarhum ayahnya yang bergelar Sultan Agung Senopati Ing Alaga Ngabdur Rahman. Siapa pun orang Mataram yang tidak setuju, sekarang katakan niat itu, akulah lawan perangnya.'' Semua warga yang hadir mendukungnya. Barulah sang raja masuk ke dalam istana.
Dalam babad tanah jawi juga dijelaskan bahwa gelar lengkap Sultan Agung ketika dinobatkan menjadi raja adalah "yang mulia Sultan Agung, raja ulama Nyakrakusuma, yang terkenal mempunyai kesaktian yang luar biasa".
Sementara sumber-sumber Belanda yang sezaman menyebut Sultan Agung awalnya bergelar "Pangeran atau Panembahan Ingalaga'' Pada awal pemerintahannya Raden Mas Rangsang bergelar "Panembahan Hanyakrakusuma'', setelah menduduki Madura pada tahun 1624 ia dinobatkan sebagai Susuhunan. Dalam Daghregister, pada tanggal 19 Juli 1924, ia masih disebut "Pangeran Ingalaga", tetapi pada tanggal 15 September berikutnya ia disebut "Susuhunan" yang berarti Kaisar atau raja yang paling berkuasa.
Meskipun diawal mula penobatannya menjadi Raja menimbulkan polemik dan kualitas buruk dari para keluarga Keraton, tetapi karena pihak Raden Martapura menerimanya, kemudian polemik itu akhirnya berakhir dengan damai tanpa pertumpahan darah.
(***)