DUA SANGIA DI KULISUSU: SANGIANO LEMO DAN SANGIANO DOULE

DI sela prosesi penabalan adat Raja/Lakino Kulisusu, saya berbincang dekat dengan Nurlin—penulis dan antropolog muda Buton Utara. Ia memberi saya hadiah dua buku karyanya: Menyingkap Tabir Kuasa di Tanah Buton, Orang Kulisusu, Indentitas, dan Kekuasaan, satu buku lainnya berjudul Ritus Haroano Laa, Mitos dan Upaya Membangun Keakraban Manusia dengan Alam.
Bagian penting dan barangkali “genting” dari bincangan kami itu adalah perihal Kulisusu di periode awal, ketika negeri itu belum menjadi bagian dari Barata Kesultanan Buton.
Sama seperti Kaledupa—salah satu dari Barata Patapalena Kesultanan Buton, Kulisusu pun “didekati” menggunakan taktik diplomasi marital—kawin mawin dengan intrik, konflik dan dinamika yang begitu kerasnya, memperhadapkan secara diametral dua Sangia: Sangiano Lemo sebagai “tangan” bagi kesultanan Buton dan Sangiano Doule, pendatang pertama di Kulisusu yang melibatkannya.
Kalau di Kaledupa, La Bula—pejabat Kenipulu kesultanan Buton—pangkal Kaomu bertrah Kumbewaha mengirim dua anaknya: Kasawari dan La Ode Battini.
La Ode Battini datang menyaru sebagai “Orang Biasa” yang jelata dalam nama “Mia Dao” atau “Mia Madaki”. Ia menikah dengan Wa Pale Bontu puteri La Aru Mansuana Tombuluruha, penasihat kerajaan Kaledupa.
Kasawari datang ke Kaledupa membawa anaknya bernama La Ode Benggali menikah dengan Wa Sulutani, putri La Molingi raja ke-10 Kaledupa. Ketika La Molingi mangkat, La Ode Benggali menunjuk dewan adat menggantikan mertuanya itu, tetapi ia malah menunjuk dan memberi kekuasaan kepada ayahnya sendiri, Kasawari sejak itu naik menjadi raja Kaledupa.
Penentuan datang sebagai rintangan, salah satunya dari raja Horuo di Kaledupa selatan, karena Kasawari dianggapnya tidak murni berdarah Kaledupa, ia hanya “pendatang” yang sekadar kebetulan kebetulan menikahi anak raja.
Tetapi La Arafani—Sapati Bhaaluwu—saudara lain ibu Kasawari, bersama Kapitan Waloindi, sepulangnya dari perang mengusir Portugis di Kiser Maluku, singgah di Kaledupa, menantangi para penentang Kasawari.
Perang melawan raja Horuo di sebuah tepi pantai ujung utara pulau Kaledupa, di sana Raja Horuo ditaklukkan oleh La Arafani—Sapati Bhaaluwu dan dipaksa menghambur sembah di hadapannya sebagai penerimaan kehancuran. Itulah tempat itu diabadikan sampai kini namanya: Sombano—tempat raja Horuo menunjukkan “Somba”—tunduk menyembahi La Arafani—Sapati Bhaaluwu.
***
Di Kulisusu, Sultan Buton ke-4 Laelangi dari Kaomu Tanailandu turun tangan sendiri, datang ke Kulisusu menikah dengan Wa Bilahi putri Sangiano Lemo—diberitakan dalam tradisi lisan orang Kulisusu, Laelangi tinggal di Kulisusu hanya empat puluh hari lamanya, sebelum kembali menetap tinggal di Wolio dan tak pernah kembali ke Kulisusu.
La Ode Ode anak Laelangi dari pernikahannya dengan Wa Bilahi di Kulisusu tak pernah melihat rupa ayahandanya, barangkali inilah juga yang memantik amarahnya, menjadi salah satu sebab yang membuatnya kecewa lalu berang dan kemudian mengupayakan perlawanan: menuntut tanggung jawab ayahandanya dan meminta otonomi seluasnya bagi Kulisusu.
Dalam suatu misi protes ke Wolio, La Ode Ode membawa empat puluh rakyat Lemo pengikutnya—bahkan mengancam jika tuntutannya tidak diturutkan, ia akan membakar kota Wolio dengan “Koroka”—daun kelapa kering, yang sudah dikumpulkannya di Rombo—daerah di selatan Kulisusu.
Tetapi penentangan terkuat Laelangi di Kulisusu datang dari Sangiano Doule—seorang pemimpin komune paling awal di utara Kulisusu—Sangiano Doule konon menyimpan juga hati kepada Wa Bilahi.
Sangiano Doule lah yang mengambil Wa Bilahi sebagai istri sesudah Laelangi melepaskannya. Dengan Wa Bilahi, Sangiano Doule mempunyai anak bernama La Kokaka atau Kopasarano—seorang yang mengisyaratkan seperti ayahnya: menentangi Laelangi dan kesultanan Buton.
Sangiano Doule adalah seorang pembesar, ia pendatang pertama yang tinggal di utara Kulisusu, ia disebut bernama juga La Mahari atau bernama lakab lainnya: Kabuku Toraja.
Menurut tradisi lisan orang Kulisusu, Kabuku Toraja adalah putra Tadulako Raja Luwuk Sulawesi Tengah, tetapi kata “Toraja” di belakangnya menunjukkan sebenarnya asal datangnya dari Toraja, sebuah negeri yang pada abad ke-13 merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Luwu Sulawesi Selatan
Sangiano Doule menentang Kulisusu menjadi bagian Kesultanan Buton, ia menginginkan Kulisusu sebagai kerajaan otonom sendiri yang merdeka, bebas, tidak bergantung pada kerajaan lain.
Sangiano Doule akhirnya dibunuh karena penentangannya pada bergabungnya Kulisusu ke kesultanan Buton itu. Ia ditangkap di Laa Ea ketika baru usai “Mongkocu” (memanen padi) nya, disiksa di Pangkulea pada muara teluk Wa Ode Buri, Mayatnya diarak keliling dari Ee Lahaji melalui Mataoleo sampai akhirnya ke Lemo, darahnya menetesi tanah setiap negeri di Kulisusu yang dilaluinya.
Sejak itu usailah penentangan yang merintang di Kulisusu, Sangiano Doule dan bahkan turunannya tersisih dari kekuasaan sampai kini, sebagaimana Kaledupa, menjadilah Kulisusu bharata kesultanan Buton dengan trah Sangiano Lemo yang mengait patrilineal ke Laelangi di Wolio menjalankan sepenuhnya kekuasaan di sana.
(***)