Lailatul Qomariah, Anak Tukang Becak ber-IPK 4.00 yang Jadi Doktor


Tidak ada yang mustahil di dunia ini. Hal itu dibuktikan dengan Lailatul Qomariah. Meski anak tukang becak, perempuan 27 tahun tersebut berhasil meraih gelar doktor dengan indeks prestasi kumulatif sempurna, 4,00.

LAILATUL Qomariah tampak agak malu saat ditemui Jawa Pos di Gedung Rektorat Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) pada Kamis (12/9). Dia tidak terbiasa dengan media. Terlebih lagi, Laila juga tidak menyangka bahwa dirinya akan menjadi sorotan media.

Memang sudah sepantasnya Laila mendapat apresiasi dari banyak orang. Sebab, selain lulus program beasiswa pendidikan magister menuju doktor untuk sarjana unggul (PMDSU), Laila mampu berjuang untuk mengubah nasib keluarga hingga berhasil menjadi doktor.

''Ayah saya dulu bekerja sebagai tukang becak. Sekarang buruh tani. Dan, saya anak pertama di antara tiga bersaudara,” kata Laila.

Sebagai anak pertama, tentu Laila ingin memberikan contoh terbaik untuk adik-adiknya. Kondisi setelah ekonomi yang terbilang sulit tidak berarti mimpi untuk menjadi orang sukses tak bisa diraih ''Perjuangan saya dimulai lulus SMA. Dari kesulitan ekonomi hingga harus berjuang untuk bertahan hidup saat kuliah,” ujarnya.

Perempuan 27 tahun itu mengatakan, dirinya menjajal masuk jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM PTN) dari peserta bidikmisi. Akhirnya dia diterima di Departemen Teknik Kimia ITS. ''Justru perjuangan terberat saya saat S-1,” tuturnya. Meski menerima beasiswa bidikmisi Rp 600 ribu per bulan, Laila masih merasa berat untuk tetap bertahan di Surabaya. Selain berkuliah, Laila harus berpikir keras untuk bisa memenuhi kebutuhan hidup tanpa menyusahkan orang tua. ''Beasiswa itu kan belum bisa membuat makan, buku, dan lain-lain,” ujarnya.

Laila mengungkapkan, setiap pagi hingga sore dihabiskan untuk kuliah. Sore sampai malam, dia mengajar les privat anak-anak sekolah. Untuk menghemat, setiap ke kampus dia lebih memilih berjalan kaki atau bersepeda. ''Saya hemat berusaha untuk bertahan hingga lulus. Pokoknya, saya hanya berpikir jangan sampai putus kuliah karena ekonomi,” katanya.

Laila pun harus disiplin pada diri sendiri. Harus pula dapat membagi waktu antara kuliah dan pekerjaan sampingan. Bekerja mencari tambahan untuk uang saku. Tidur empat jam sudah menjadi hal yang lumrah.

''Saya harus lebih baik daripada orang tua dan memperbaiki nasib keluarga,” ungkap perempuan asal Pamekasan, Madura, tersebut.

Setelah lulus, Laila ingin melanjutkan studi S-2. Namun, tidak ada biaya yang sama sekali. Setelah ada pembukaan program PMDSU, Laila menjajalnya. Dia pun memilih promotornya terlebih dahulu di ITS. Beragam persyaratan harus dipenuhi. Termasuk TOEFL minimal 500, tes potensi akademik (TPA) minimal 550, dan IPK minimal 3,5. ''Saat itu IPK S-1 saya 3,7,” ujarnya.

Saat menempuh program PMDSU, Laila tidak begitu kesulitan seperti saat S-1. Sebab, dia mendapatkan biaya langsung dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Kemenristekdikti). ''Kesulitannya hanya pada waktu penelitian,” katanya.

Laila menuturkan, dirinya melakukan penelitian tentang silika. Biasanya silika hanya dimanfaatkan sebagai penyerap jamur. Namun, dia menemukan banyak sekali manfaat silika. Setiap struktur silika bisa diaplikasikan macam-macam. ''Saya meneliti empat struktur silika,” jelasnya.

Setelah lulus menjadi doktor, Laila pun ingin mengabdi di ITS sebagai dosen. Sebab, passion yang dimiliki adalah mengajar. ''Ada beberapa tawaran dari perusahaan. Tapi, saya tetap pengin jadi dosen,” katanya.


(***)