Hubungan Gelap Residen Belanda dengan Putri Keraton Yogyakarta Bikin Pangeran Diponegoro Meradang

________________________________________________
Perang Jawa antara Pangeran Diponegoro dengan Belanda berawal dari Keraton Yogyakarta yang kehilangan taringnya. Saat itu memang Residen Belanda baru saja beralih jabatan dari Baron Van Salis ke Antonie Hendrik Smissaert, pada tahun 1823. Residen baru itu disebutkan memiliki gaya hidup mewah dan suka berfoya-foya. Ia lebih sering berada di vilanya di tengah-tengah perkebunannya di Bedoyo daripada di lojinya. Selain itu, Smissaert juga memiliki rasa benci yang mendalam pada Pangeran Diponegoro, yang tidak diketahui alasannya. Ketiadaan pemimpin di Keraton Yogyakarta memperparah ulah Residen Smissaert.
Ia sering bertindak sesukanya kepada pejabat kesultanan. Mereka tidak lagi menghormati adat istiadat Jawa. Pada rapat-rapat resmi yang diadakan pada hari Senin dan Rabu, residen selalu duduk di kursi atau mahligai tempat raja duduk, yang disediakan untuk Sultan, yang oleh bangsawan sementara dinilai sebagai pencemaran atas kekuatan gaibnya. Dikutip dari buku "Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajahan di Indonesia" tingkat pejabat Belanda juga diperparah mudahnya memasuki wilayah keraton, termasuk mengadakan hubungan gelap dengan beberapa putri keraton membuat Diponegoro prihatin.
Selain masalah moral, konflik pribadi antara Diponegoro dengan Smissaert semakin tajam, setelah terjadi peristiwa saling memalukan di depan umum dalam suatu pesta di kediaman residen atau loji. Saat itu, Diponegoro terang-terangan melawan Smissaert. Pada suatu hari Smissaert dan Danurejo memerintahkan memasang anjir atau tiang pancang sebagai tanda akan dibuatnya jalan baru, yang sengaja melintasi tanah milik Diponegoro di Tegalrejo. Diponegoro memerintahkan anak buahnya untuk mencabuti pancang-pancang tersebut.
Bahkan Pangeran Diponegoro langsung mengeluarkan catatan, dan mencatat peristiwa ini berbunyi "sesudah salat asar saya keluar rumah melihat ada kawanan orang. Saya bertanya kepada seorang pembantu saya Ki Soban namanya. Soban apa yang terjadi kok banyak orang bergerombol? Orang dari luar Gusti utusan Patih akan membuat jalan. Saya memanggil pembantu yang lain Mangunharjo. Apa yang terjadi Mangunharjo? Kenapa tidak memberi tahu saya? Cabut semua pancang itu! Residen mendapat laporan bahwa pancang-pancang itu dicabut oleh pengikut Diponegoro.
Lalu, Danurejo memerintahkan untuk memasang kembali pancang-pancang, dengan dikawal oleh pasukan Macanan, pasukan pengawal Kepatihan. Sebaliknya, pengikut Diponegoro mencabuti pancang-pancang yang baru ditanam. Oleh pengikut Diponegoro pancang tersebut diganti dengan tombak - tombak mereka. Insiden pancang ini membuat konflik antara Smissaert - Danurejo, dengan Pangeran Diponegoro kian tinggi hingga melibatkan kekuatan bersenjata.
(***)