SEJARAH KEL. TUKMUDAL KEC. SUMBER KAB. CIREBON



Raden Ganda Mulya alias Pangeran Atas Angin atau Raden Walangsungsang mendapat tugas dari ayahhandanya untuk mencari adiknya Prabu Gagak Sengara yang sudah lama meninggalkan istana Pajajaran. Usaha pencariannya belum juga mendapatkan hasil meskipun hampir seluruh pelosok daerah telah menjelajahinya. Raden Ganda Mulya melanjutkan pencariannya hingga tiba disuatu daerah yang dipenuhi pohon jati besar –besar yang sudah berumur ratusan tahun dan disekelilingnya di tumbuhi alang-alang. Sungguh diluar dugaan, disitulah Raden Ganda Mulya dipertemukan dengan adiknya.


Raden Ganda Mulya sangat gembira dapat bertemu kembali dengan adiknya yang sudah lama menghilang. Keduanya memutuskan untuk menetap di daerah itu. Oleh karena tempatnya sangat sejuk, hutannya tertata rapih dan aman tanpa gangguan apapun, sehingga dipastikan wilayah ini berada dalam suatu pemerintahan yang adil dan makmur.  

Selanjutnya Raden Ganda Mulya yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Blewuk menamakan tempat ia bermukim itu Wanakerta, dan ia juga dikenal sebagai Ki Gede Wanakerta. “Wana” artinya hutan, dan “Kerta” artinya aman sejahtera. Pada suatu saat ketika Ki Blewuk sedang asyik menanam alang-alang , tiba-tiba serombongan kerbau milik Ki Gede Matangaji datang merusak, dan tanaman alang-alang yang ditanamnya habis dimakan kerbau-kerbau yang memiliki tanduk panjang ke depan tersebut. Saking kesalnya, Ki Blewuk menangkap kerbau-kerbau tersebut lalu sikutan tanduk-tanduknya ke bawah, sehingga tanduk kerbau menjadi dongkol, melengkung ke bawah. (Konon sejak peristiwa itulah tanduk kerbau bentuknya tidak lurus ).

Ki Gede Matangaji tidak menanggapi laporan masyarakat Wanakerta bahwa kerbaunya merusak tanaman Ki Blewuk. Namun ia menjadi marah tak terkira melihat tanduk kerbau-kerbau kesayanganya dongkol melengkung ke bawah. Segeralah ia mengumpulkan pasukannya untuk membuat perhitungan kepada Ki Blewuk.


Ketika Ki Gede Matangaji datang bersama pasukannya, Ki Blewuk tidak langsung menghadangnya, namun ia hanya mengambil sajadah dan menghamparkannya di atas tanaman alang-alang untuk melaksanakan shalat.

Ki Gede Matangaji beserta pasukannya sangat terkesima, tidak berani mendekat melihat kesaktian Ki Blewuk yang sangat tinggi. Tanpa pertarungan Ki gede Matangaji beserta pasukannya kabur tunggang langgang meninggalkan Ki Blewuk yang sedang melaksanakan shalat.


Pasukan Wanakerta datang untuk melucuti semua senjata dan pusaka yang ada. Ki Gede Matangaji ketakutan dan melarikan diri ke wilayah timur yaitu daerah Semarang. Demikian pula pasukan Matangaji tidak ada yang berani menampakan diri, kecuali seorang pawongannya yang bernama Tumenggung Bule.

Setelah Ki Blewuk bersama pasukannya kembali ke Wanakerta, Tumenggung Bule mengumpulkan sisa-sisa pusaka yang ada, lalu dimasukkan ke sebuah peti kandaga yang terbuat dari kayu jati tua. Peti tersebut lalu dibawa ke daerah utara Wanakerta untuk dikuburkan. Setelah selesai penguburan pusaka, Tumenggung Bule menuju Telar asem untuk membuat gubug tempat tinggal.


Ki Gede Blewuk yang memilik pusaka golok cabang itu sangat terkenal dengan sebutan namanya “Blewuk”, karena kebiasaannya memakai pakaian yang serba hitam, mulai topi, baju, kompp celanarang, hingga alas kaki. Pada masa itu masyarakat Wanakerta dilarang memakai pakaian serba hitam karena dianggap menghina Ki Blewuk.

Ki Gede Blewuk memasuki daerah Wanakerta sebelah timur setelah mendapat kabar akan kedatangan tamu dari Ratu Galuh. Seluruh warga Wanakerta bersama Ki Blewuk menyambut kedatangan Ratu Galuh bersama rombongannya. Akibat perjalanan perjalanan yang cukup jauh, Ratu galuh bersama rombongannya merasakan haus yang tiada terkira. Menyaksikan kehausan Ratu Galuh, Ki Blewuk segera menancapkan tongkatnya di tanah di samping Ratu Galuh duduk. Airpun mengalir dengan deras dan jernih, sehingga tanpa dikomando Ratu Galuh bersama rombongannya segera meminum air tuk itu.


Sebenarnya kedatangan Ratu galuh ke Wanakerta bukan untuk berdamai, melainkan untuk melawan Ki Blewuk dan masyarakatnya. Ki Blewuk terpaksa meladeni keinginan Ratu galuh, bertanding satu lawan satu. Setelah pertarungan yang cukup lama, Ratu Galuh beserta pasukannya terdesak mundur yang akhirnya mereka menuruti. 


Untuk mengenang peristiwa itu Ki Gede Wanakerta menamakan daerah itu Tukmudal. Tuk artinya mengeluarkan air dan Mudal (Bahasa Sunda) yang artinya meluber atau berlimpah. Jadi Tukmudal artinya memancarkan air jernih yang melimpah.



(***)