1 Butir Telur yang Dibagi Menjadi 4


Rumah itu berdiri miring di ujung desa, dibangun dari kayu tua dan seng bekas. Jika angin kencang datang, dindingnya berderit seperti orang tua yang ditembus. Di dalamnya tinggal Bu Saminah dan tiga anaknya Sari, Bayu, dan Lilis.

Bu Saminah seorang janda, ditinggal mati suaminya karena kecelakaan di pabrik setahun yang lalu. Sejak saat itu, kehidupan mereka berubah total.


Pagi itu, hujan turun rintik-rintik. Atap rumah yang bocor membuat lantai tanah di dalam rumah becek. Bu Saminah memegang sambil memegang wajan tua di atas tungku arang yang nyaris padam.


“Hari ini kita sarapan apa, Bu?” tanya Sari, anak sulungnya yang baru duduk di kelas lima SD.


Bu Saminah tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. Ia membuka kaleng biskuit bekas yang menjadi tempat menyimpan makanan mereka. Di dalamnya hanya ada satu butir telur.


“Hari ini kita makan telur,” jawabnya, berusaha ceria.


Ketiga anaknya Sari, Bayu, dan Lilis menggenggam tangan kecil. Sudah tiga hari mereka hanya makan nasi dan garam. Bagi mereka, telur adalah kemewahan.


Bu Saminah memecahkan telur itu dengan hati-hati. Ia mengocoknya dengan sedikit air agar terlihat lebih banyak. Lalu ia menggorengnya menjadi dadar tipis yang nyaris transparan.


Dengan pisau tumpul, ia membaginya menjadi empat bagian.


Satu untuk Sari.

Satu untuk Bayu.

Satu untuk Lilis.

Dan satu untuk dirinya sendiri.


Namun saat ia ingin mengambil bagiannya, ia melihat mata anak-anaknya yang menahan lapar.


“Aku sudah makan tadi pagi,” sambil menyodorkan potongannya kepada Lilis, si bungsu yang paling kurus.


“Benarkah, Bu?” tanya Sari lirih.


“Iya, Nak.”


Anak-anak itu makan dengan lahap, tak sadar kalau ibunya menahan perih di lambungnya yang kosong.


Malamnya, saat anak-anak sudah tidur, Bu Saminah terduduk lemas di sudut dapur. Perutnya melilit, tapi hatinya hangat.


Ia menyalakan wajan kosong itu sambil berbisik, 

“Asal kalian kenyang, Ibu kuat.”


Lalu ia menutup matanya, dan tertidur di malam yang dingin dengan senyuman kecil di wajahnya.


Esok paginya, ketika Sari bangun dan hendak membangunkan ibunya, ia menemukan tubuh Bu Saminah sudah tak bernyawa.


Disebelahnya, selembar kertas kecil terlipat rapi.

"Maaf, Ibu tidak bisa menemani kalian lebih lama. Tapi Ibu bahagia, karena hari kemarin, kalian bisa tersenyum meski hanya dengan satu butir telur."


Tangis ketiga anak itu pecah.


Dan sejak hari itu, mereka tak pernah lagi memakan telur tanpa mengingat senyum Ibu dan satu kenangan paling pahit sekaligus paling hangat dalam hidup mereka, satu butir telur yang dibagi menjadi empat.


---


Setelah kepergian Bu Saminah, ketiga anak itu harus belajar tumbuh tanpa pelukan ibu. Sari, yang baru berusia sebelas tahun, tiba-tiba menjadi ibu bagi adik-adiknya.


Hari-hari pertama terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai. Tangisan Lilis kerap pecah di malam hari, memanggil-manggil ibu. Bayu, anak tengah yang biasanya ceria, jadi lebih pendiam.


“Tenang, kita masih punya satu sama lain,” bisik Sari sambil memeluk adik-adiknya.


Mereka hidup dari belas kasih tetangga. Sesekali ada yang datang membawa sekantong beras atau bungkusan lauk. Tapi bantuan itu tak selalu datang.


Suatu sore, Sari memberanikan diri untuk mencari pekerjaan. Ia melintasi pasar, menawarkan diri mencuci piring atau membantu penjualanan.


Seorang penjual sayur, Bu Rini, yang mengenal almarhumah Saminah, terenyuh melihat ketegaran gadis kecil itu. Ia mempekerjakannya dengan upah seadanya.


Mulai hari itu, selepas sekolah, Sari bekerja di lapak Bu Rini. Ia menyapu, menata sayuran, bahkan ikut berjualan. Tangannya kasar, tubuhnya lelah, tapi jantungnya tetap kuat.


Setiap kali menerima uang, seberapa kecil pun, ia membelikan beras dan telur. Kadang-kadang, ia hanya membeli satu butir telur. Tapi kali ini, dia tidak membagi empatnya. Ia membaginya tiga.


“Ini untuk kalian. Kakak sudah makan di pasar tadi,” katanya pada Bayu dan Lilis, meski di bawah tanah kosong.


Waktu berlalu. Tahun demi tahun. Dengan kerja keras dan bantuan Bu Rini yang menganggap mereka seperti anak sendiri, Sari bisa terus bersekolah.


Bayu tumbuh menjadi anak yang pintar. Ia senang membaca buku-buku bekas yang ditemukan di pasar. Lilis, si bungsu, sangat pandai menggambar dan bercita-cita jadi guru.


Meski hidup mereka tetap sederhana, mereka tak pernah kekurangan cinta.


Setiap ulang tahun Ibu, mereka punya tradisi kecil, memasak satu butir telur, membaginya tiga, dan menyisakan satu potongan kecil di piring kosong di tengah meja.


Untuk Ibu.


Dan setiap kali potongan itu diletakkan, Sari akan berkata pelan,

“Bu, terima kasih untuk satu butir telur yang mengajarkan kami arti cinta dan pengorbanan.”


Air mata mereka mengalir, tapi kini bukan karena luka.

Melainkan karena rindu yang sudah menemukan bentuk keteguhan, kasih, dan kenangan yang tak lekang oleh waktu.