Marsose: Nafsu, Perselingkuhan, dan Ambruknya Moral di Perang Aceh



Perang Aceh bukan hanya kisah tentang peluru, pedang, dan darah yang tumpah di medan laga. Ada sisi lain yang jarang dibicarakan: nafsu, perselingkuhan, dan runtuhnya moral para marsose, pasukan khusus Belanda yang ditempa dalam kerasnya pertempuran.


Lelah berbulan-bulan jauh dari rumah, dari istri, dan dari kehidupan normal membuat para marsose berada di ambang stres. Untuk meredakan ketegangan itu, Belanda pun mengirim istri-istri marsose dari Kuala Simpang menuju Blangkejeren. Perjalanan berat melewati gunung, sungai, dan ancaman serangan gerilyawan Aceh membuat sebagian istri yang masih muda memilih mundur kembali ke Langsa. Yang berhasil tiba-tiba justru istri-istri tua, yang menurut Zentgraaff, disebut sebagai wanita Ambon “kasar” yang dianggap tak lagi menggairahkan bagi prajurit.


Harapan marsose untuk meredakan birahi pun pupus. Kekecewaan berubah jadi kelainan, perselingkuhan, hingga tragedi berdarah.


Di tengah frustrasinya, pasukan Mosselman pernah menangkap seorang wanita cantik dari Gayo. Di hadapan masyarakat, ia diperlakukan sopan, dibantu menyebrangi sungai dan mendaki tebing. Namun begitu di bivak, nafsu yang lama terpendam meledak perempuan menjadi pelampiasan.


Tragedi paling mencekam terjadi pada seorang marsose muda Ambon bernama Nannink. Ia asyik bermain judi “puter dadu”, sementara perempuan yang menunggunya ternyata adalah istri dari marsose lain. Pertengkaran cinta segitiga itu berujung maut: Nannink kalap, mengambil kelewang, dan membunuh perempuan tersebut.


Kejadian itu membuat barak berubah mencekam. Saat Letnan Van Eck berusaha menenangkan diri, Nannink justru menembak sersan Selbach tepat di kepala. Panik merajalela. Ia menembak membabi buta, melukai kawannya sendiri, sebelum akhirnya mengarahkan peluru terakhir ke dirinya sendiri.


Kisah ini menelanjangi fakta getir: moril pasukan elit Belanda itu ambruk, disiplin luntur, dan banyak yang jatuh ke jurang kegilaan. Bukan hanya di Blangkejeren, peristiwa serupa juga terjadi di Takengon, ketika seorang marsose muda menembak dua opsir Eropa karena salah satunya berselingkuh dengan kekasihnya, lalu bunuh diri.


Zentgraaff menyebut kondisi itu sebagai bukti bahwa marsose lebih mirip orang sakit jiwa frustasi, kehilangan kepercayaan diri, dan terperangkap dalam labirin birahi yang tak terkendali.


Perang Aceh tidak hanya mengoyak tubuh, tetapi juga jiwa. Dan di balik kemenangan militer Belanda, tersembunyi kisah kelam runtuhnya moral para marsose yang terseret oleh nafsu dan putus asa.


(***)