Ketika Bandung Menjadi Lautan Api



Bandung, Maret 1946. Kota yang sejuk di dataran tinggi Jawa Barat itu berubah menjadi panggung sejarah yang membara. Bukan lagi alunan gamelan atau tawa di Braga yang terdengar, melainkan derap sepatu tentara, senjata dentuman, dan teriakan perlawanan.


Awal Bara


Setelah Proklamasi Kemerdekaan, pasukan Sekutu—diboncengi tentara Belanda—masuk ke Bandung. Mereka menuntut pejuang Indonesia menyerahkan senjata dan melepaskan kota. Tentu, itu berarti merampas kemerdekaan yang baru saja diraih.


Para pejuang dan rakyat Bandung menolak persetujuan. Namun, posisi militer tak seimbang. Setelah perundingan, ultimatum dikeluarkan: pejuang harus meninggalkan Bandung Selatan.


Keputusan bersejarah


Daripada kota jatuh ke tangan penjajah, para pemimpin pejuang mengambil keputusan yang pahit namun mulia: membumihanguskan Bandung. Mereka rela meninggalkan rumah, toko, sekolah, bahkan masjid yang dicintai—semuanya dibakar agar tak bisa dipakai musuh.


Malam Api


Malam itu, langit Bandung merah menyala. Kobaran api meliputi rumah-rumah, gedung-gedung, dan jalanan. Asap hitam membumbung, akhirnya langkah prajurit yang mundur sambil menyanyikan lagu perjuangan.

Warga mengalir keluar kota, membawa sedikit harta yang tersisa. Anak-anak menangis, ibu-ibu menggendong bayi, sementara para ayah menatap dengan mata berkaca-kaca ke rumah yang dilahap api.


Seorang saksi mata berkata:

"Bandung seperti lautan api yang luas, tak ada lagi gelap, hanya nyala merah di segala arah."


Warisan Keberanian


Meski kota hancur, semangat tak padam. Dunia tercengang melihat pengorbanan itu. Bandung Lautan Api menjadi simbol keberanian rakyat Indonesia: lebih baik hancur daripada kembali dijajah.


Begitulah kisah Bandung Lautan Api ketika sebuah kota memilih terbakar demi harga diri dan kemerdekaan bangsanya.


(***)