Pemulung Kecil yang Bermimpi Menjadi Guru.



Penulis : Koko

Gambar dibuat : Koko


??Cerita.


Namanya Jono, seorang anak berusia 10 tahun. Sehari-hari ia berjalan melintasi jalanan dengan karung di bahunya, memungut botol plastik dan kardus bekas. Di saat anak-anak lain berangkat ke sekolah dengan seragam rapi, Jono hanya bisa melihat dari jauh sambil menunduk, menahan rasa iri yang dalam.


Ia bukan tidak ingin sekolah. Justru, dia sangat ingin belajar. Namun keadaan ekonomi membuatnya harus ikut membantu ibunya mencari nafkah setelah ayahnya meninggal. Dengan kaki kecilnya yang kotor dan baju compang-camping, Jono tetap melangkah, membawa mimpi yang ia simpan erat di dalam hati.


Dibalik sederhananya, Jono punya mimpi yang tak pernah ia ceritakan pada banyak orang: ia ingin menjadi seorang guru. Ia sering berdiri di depan cermin pecah di rumahnya, lalu menirukan cara guru mengajar yang pernah ia lihat dari anak-anak tetangganya.


“Kalau aku jadi guru, aku akan bikin semua anak bisa baca dan tulis, biar gak ada yang sedih kayak aku,” ucapnya lirih sambil tersenyum pada bayangan dirinya sendiri.


Setiap kali menemukan buku bekas di tempat sampah, Jono membawanya pulang. Meski halamannya sobek, tintanya pudar, ia tetap membacanya dengan penuh semangat, seolah buku itu adalah harta yang paling berharga.


Tak jarang, Jono diejek oleh teman sebaya. “Hei pemulung kecil, bau sampah!” teriakan beberapa anak sekolah. Jono hanya diam, menunduk, lalu berjalan menjauh. Ia tidak marah, hanya hatinya yang binasa.


Malam hari, ketika tubuhnya lelah, ia sering menangis diam-diam. Ia bertanya pada ibunya, “Bu, apa aku bisa jadi guru suatu hari nanti?”

Ibunya terdiam, matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ia memeluk Jono erat-erat dan berkata, “Nak, jangan berhenti bermimpi. Ibu percaya kamu bisa, meski sekarang kita harus susah payah dulu.”


Kata-kata itu menjadi api kecil yang terus menjaga semangat Jono, meski dunia sering meremehkannya.


Suatu hari, seorang guru melihat Jono sedang membaca buku sobek di pinggir jalan. Ia terkejut dengan kesungguhan anak itu. Guru tersebut lalu mendekat dan berkata, “Nak, kamu suka belajar?”


Dengan mata berbinar, Jono mengangguk. “Aku ingin jadi guru, Pak. Tapi aku nggak sekolah…”


Guru itu tersenyum, menepuk pundaknya, lalu berkata, “Mulai besok, datanglah ke sekolah. Kamu boleh ikut belajar, meski tanpa seragam. Ilmu itu untuk semua orang.”


Hari itu, hati Jono seperti diterangi cahaya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan ada yang membuka pintu bagi mimpinya.


Sejak hari itu, Jono belajar dengan penuh semangat. Ia tetap memulung setiap pagi untuk membantu ibunya, lalu berangkat ke sekolah dengan buku-buku bekas yang ia temukan. Walau sering mati karena kemunculannya, ia tidak peduli.


Setiap kali ia berdiri di depan papan tulis sebagai murid, ia membayangkan suatu hari akan berdiri di sana sebagai guru. Ia percaya, meski hidupnya penuh keterbatasan, mimpi tidak boleh mati.


Jono mengajarkan pada dunia bahwa seorang pemulung kecil pun berhak bermimpi besar. Dan terkadang, justru dari hati yang paling terluka, lahirlah semangat yang paling kuat untuk mengubah masa depan.


?Pertanyaan :


????Menurutmu, apakah kemiskinan boleh menjadi alasan untuk berhenti bermimpi, atau justru menjadi alasan untuk terus berjuang keras meraih cita-cita?

(***)