Rumah yang Menanti Hujan Terakhir



Di tepi desa yang kini sepi ditinggal waktu, berdiri sebuah rumah tua. Dindingnya retak-retak, catnya mengelupas, dan atapnya bocor di banyak tempat. Angin berdesir lewat celah jendela, membawa serta bisikan kenangan yang enggan mati. Rumah itu dulu pernah hidup dengan tawa, tangis, dan aroma masakan yang menyusup keluar jendela di sore hari.


Rumah itu milik pasangan tua, Pak Wiryo dan Bu Lastri. Dulu, mereka membesarkan tiga anak di sana. Lantai kayu dipenuhi jejak kaki kecil yang berlarian, suara nyanyian ibu mengiringi tidur malam, dan ruang tamu menjadi saksi banyak pelukan saat hujan deras turun.


Namun waktu seperti udara, tak pernah berhenti mengalir. Anak-anak tumbuh, satu per satu pergi ke kota, mengejar mimpi yang tak pernah punya tempat di desa. Mereka berjanji akan sering pulang, tapi janji hanyalah kata yang mudah patah.


Bu Lastri meninggal lebih dulu, tersenyum dalam tidur. Pak Wiryo tinggal sendiri, duduk di beranda tiap sore, menatap jalan kosong sambil menunggu langkah yang tak pernah datang. Ia tak mau pindah, katanya rumah ini terlalu penuh kenangan. Padahal, rumah itu sudah mulai rapuh, begitu pula dirinya.


Suatu malam, hujan turun deras sekali. Petir menyambar pohon besar di samping rumah. Api menjalar cepat, dan rumah tua itu tak sanggup melawan. Penduduk desa datang berlarian, tapi api lebih cepat dari mereka.


Ketika api padam, hanya puing yang tersisa. Di antara abu dan bara, mereka menemukan Pak Wiryo terbaring di tempat tidurnya, tak berusaha lari, tak meninggalkan rumah yang sudah tak bisa melindunginya.


Ia memilih tinggal. Mungkin karena di sana, ia merasa paling dekat dengan semua yang telah pergi. Mungkin karena dia tahu rumah itu sudah terlalu lelah untuk berdiri sendiri.


Kini, hanya rerumputan liar yang tumbuh di bekas pondasi. Tapi tiap kali hujan turun dan angin berembus ke arah desa, beberapa orang bersumpah masih mendengar suara tawa kecil dan nyanyian seorang ibu dari arah sana.


---


Tiga hari setelah kebakaran, anak ketiga Pak Wiryo akhirnya datang. Mereka berdiri di antara puing-puing hangus, terdiam lama, tak tahu harus berkata apa. Wajah mereka murung, bukan hanya karena kehilangan, tapi karena penyesalan yang terlambat datang.


Di tengah-tengahnya, mereka menemukan sebuah kotak kayu kecil yang nyaris utuh. Di dalamnya ada foto keluarga yang mulai menguning, surat-surat tulisan tangan Bu Lastri, dan secarik kertas yang seolah sengaja disimpan untuk mereka.


Tulisan tangan itu milik Pak Wiryo:

"Anak-anakku, jika kalian membaca ini, berarti aku sudah mengikuti ibu kalian. Maaf karena aku tetap tinggal di sini. Rumah ini mungkin sudah tua dan rapuh, tapi di akhir cinta kami tumbuh, dan di akhir aku ingin mengakhirinya. Jangan tangisi aku. Rawat mengenang kita, bukan karena aku bertanya, tapi karena kalian pernah bahagia di sini."


Mereka menangis. Bukan karena ayah mereka telah tiada, tapi karena mereka akhirnya sadar kenangan tak butuh gedung megah untuk tetap hidup, hanya hati yang mau mengingatnya.


Beberapa bulan kemudian, tanah bekas rumah dibersihkan. Bukan untuk dibangun ulang, tapi untuk dijadikan taman kecil. Di tengah taman, mereka meletakkan bangku kayu sederhana dan sebuah batu dengan ukiran:

"Di sini pernah berdiri rumah yang menyimpan cinta tanpa batas. Jangan lupa pulang, meski hanya lewat kenangan."


Dan setiap hujan turun, langit seolah ikut menangis mengingat satu rumah rapuh yang memilih roboh bersama kenangan terakhirnya.


---


Waktu berjalan, musim berganti. Taman kecil di bekas rumah Pak Wiryo mulai dikenal warga desa sebagai **Taman Kenangan**. Anak-anak bermain di sana, pasangan muda duduk di bangku kayu, dan orang-orang datang hanya untuk diam sejenak, mengenang apa pun yang pernah mereka miliki.


Anak ketiga Pak Wiryo tak lagi lupa jalan pulang. Setiap tahun, di hari ulang tahun pernikahan orang tua, mereka datang bersama keluarga masing-masing. Mereka bercerita kepada anak-anak mereka, tentang kakek dan nenek yang memilih setia di rumah, tentang tawa yang dulu memenuhi lorong-lorong kayu, tentang malam-malam hangat saat hujan turun.


Mereka tidak membangun ulang rumah itu, karena mereka tahu rumah sejati bukanlah tembok dan genteng, melainkan tempat hati berpulang. Dan meskipun bangunan itu telah habis dilalap api, "cinta yang pernah tumbuh di sana tak bisa dibakar oleh apa pun"


Suatu senja, saat kabut mulai turun, seorang anak kecil bertanya pada ibunya, 

“Ibu, kenapa kursi ini selalu hangat saat kita duduk, padahal taman ini dingin?”


Ibunya tersenyum, menatap langit yang kelabu, dan menjawab pelan, “Mungkin karena seseorang yang dulu duduk di situ... belum pernah benar-benar pergi.”


Dan di luar dugaan, terdengar bisikan angin yang membawa aroma kayu basah dan nyanyian lama seorang ibu nyanyian yang hanya bisa didengar oleh mereka yang masih percaya bahwa rumah, betapapun rapuhnya, bisa hidup abadi dalam kenangan.


---


Bertahun-tahun kemudian, taman itu menjadi bagian tak terpisahkan dari desa. Orang-orang menyebut bukan hanya Taman Kenangan, tapi **Taman yang Hidup**. Sebab anehnya, bunga-bunga di sana tumbuh lebih subur. Pohon-pohon rindang, meski tak pernah ditanam, muncul seolah-olah dibimbing tangan tak terlihat.


Pada malam-malam tertentu, terutama saat hujan lembut turun dan kabut membungkuk rerumputan, beberapa warga mengaku melihat cahaya samar di ujung taman. Seperti nyala lampu dari dalam rumah, seperti siluet dua orang tua yang duduk berdampingan di beranda yang tak lagi ada. Mereka tidak menakutkan. Justru memberi rasa tenang.


Anak-anak dari generasi baru tak pernah mengenal Pak Wiryo atau Bu Lastri. Tapi mereka tumbuh dengan cerita tentang cinta yang tinggal sampai akhir, tentang rumah yang memilih roboh bersama penghuninya daripada ditinggalkan kosong, dan tentang satu tempat kecil yang menjadi bukti bahwa kenangan tak pernah mati jika dijaga dengan cinta.


Dan akhirnya, rumah itu meski telah menjadi taman tapi tidak pernah hilang. Ia hanya berubah bentuk. Dari dinding dan atap, menjadi udara dan cahaya. Dari bangunan tua, menjadi ruang di dalam hati banyak orang.


Karena rumah sejati tak pernah benar-benar runtuh.

Ia hanya menunggu.

Di tempat yang tenang. Dalam diam yang menyala.


(”"")