Kisah Bung Tomo: Dari Pejuang Kemerdekaan Hingga ke Penjara Orde Baru


Tahun 1945 adalah tahun penuh bara. Di Surabaya, ketika pasukan Sekutu yang diboncengi Belanda ingin kembali berkuasa, seorang pemuda bernama Sutomo, yang kemudian dikenal sebagai Bung Tomo, berdiri di depan mikrofon radio dan membakar semangat rakyat: “Selama banteng-banteng Indonesia masih punya darah merah yang bisa membuat secarik kain putih menjadi merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapa pun juga!”

Kata-kata itu menggema. Rakyat Surabaya melawan. Pertempuran 10 November pun meletus, dan Bung Tomo menjadi simbol perlawanan yang menggetarkan dunia.


Bung Tomo & Soekarno: Dari Sekutu Menjadi Berbeda Jalan

Awalnya, Bung Tomo dan Soekarno berdiri di barisan yang sama: mempertahankan kemerdekaan. Bung Tomo menghormati Soekarno sebagai proklamator dan pemimpin bangsa. Namun, memasuki akhir tahun 1950-an, ketika Soekarno menggagas politik Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme), Bung Tomo mulai resah.

Sebagai seorang muslim yang taat, ia memandang keberpihakan Soekarno kepada PKI sebagai ancaman. Bung Tomo tak ragu-ragu, bahkan menantang kebijakan-kebijakan politik yang menurutnya bisa menjerumuskan bangsa. Hubungannya dengan Soekarno pun merenggang.

Namun berbeda dengan rumor yang sering beredar, Bung Tomo tidak pernah dipenjara oleh Soekarno. Ia memang dikucilkan secara politik, tapi tidak sampai masuk bui.


Masa Orde Baru: Harapan yang Patah

Ketika Orde Baru lahir tahun 1966, Bung Tomo sempat berharap bahwa pemerintahan baru ini akan membawa bangsa ke arah yang lebih baik, bebas dari pengaruh PKI dan penyimpangan.

Namun, kenyataannya berkata lain. Orde Baru perlahan dipenuhi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bung Tomo kembali bersuara. Ia menulis, berpidato, dan mengkritik pemerintahan Soeharto secara terbuka.

Kritiknya dianggap ancaman. Tahun 1978, Bung Tomo ditangkap dan dipenjarakan di Jakarta tanpa proses hukum yang jelas. Ia mendekam di balik jeruji selama hampir setahun. Bagi Bung Tomo, itu adalah harga dari keberaniannya menyuarakan kebenaran.


Akhir Perjalanan

Setelah keluar dari penjara, Bung Tomo hidup sederhana, jauh dari gemerlap politik. Ia tetap menjadi sosok yang dihormati rakyat, meski tidak selalu diakui oleh penguasa.

Pada tanggal 7 Oktober 1981, saat menunaikan ibadah haji di Mekkah, Bung Tomo wafat. Jenazahnya dibawa pulang dan dimakamkan di Ngagel, Surabaya, tidak jauh dari kota yang dulu ia kobarkan semangatnya.


Warisan Bung Tomo

Bung Tomo adalah pejuang yang berani berkata meski berhadapan dengan siapa pun — baik penjajah, Soekarno, maupun Soeharto. Ia adalah contoh bahwa cinta tanah air tidak hanya diwujudkan dengan mengangkat senjata, tetapi juga dengan menjaga suara nurani di tengah godaan kekuasaan.

--

(***)