Kisah tragedi perpisahan massal oleh Westerling di Sulawesi Selatan 1946–1947, salah satu tragedi kemanusiaan terbesar di Indonesia
???? Latar Belakang
Setelah Sekutu & NICA mendarat di Makassar (23 September 1945), ketegangan rakyat Sulsel semakin meningkat.
Rakyat yang sudah mendengar Proklamasi berjuang melalui laskar-laskar gerilya seperti LAPRIS,LAPTUR,Lipang Bajeng dan lain-lain.
Belanda kesulitan menghadapi serangan gerilya laskar para pejuang Republik di pedalaman.
Maka pada bulan Desember 1946, Belanda mengirim Kapten Raymond Westerling, komandan Depot Speciale Troepen (DST), untuk “menumpas pemberontakan”.
?? Metode Westerling – Eksekusi Standrechtelijke
Westerling memperkenalkan metode kejam yang disebut “Standrechtelijke Executies” (eksekusi tanpa pengadilan).
Prosedurnya:
1. Suatu kampung dikepung tentara Belanda.
2. Semua penduduk dikumpulkan di alun-alun atau lapangan.
3. Westerling menunjuk orang-orang yang keliru sebagai gerilyawan.
4. Tanpa bukti atau pengadilan, mereka langsung ditembak di depan umum.
5. Kadang-kadang, rumah-rumah dibakar, dan keluarga korban terpaksa menyaksikannya.
Metode ini bertujuan menimbulkan teror agar rakyat takut membantu pejuang Republik.
???? Skala Pembantaian
Aksi Westerling berlangsung Desember 1946 – Februari 1947.
Dilakukan di banyak daerah Sulawesi Selatan, seperti:
Gowa
Takalar
Barru
Pare-pare
Tulang
Enrekang
Bulukumba
Menurut catatan resmi Belanda: 3.000 korban jiwa.
Menurut Saksi rakyat Sulsel & penelitian Indonesia: korban mencapai 40.000 orang — meliputi petani, guru, tokoh agama, bahkan anak-anak.
???? Kesaksian Rakyat
Di Takalar, satu kampung yang hampir habis penduduknya ditembak hanya karena anehnya memberi makan gerilya.
Di Gowa, pemuda-pemuda berdiri tegak lalu melakukan kompresi.
Banyak keluarga kehilangan ayah dan anak laki-lakinya sekaligus.
Ketakutan begitu hebat, tapi semangat perlawanan tetap hidup.
?? Dampak & Warisan
Tragedi ini dikenal dengan sebutan “Pembantaian Westerling” atau “Sulawesi Selatan Affair”.
Membuat luka mendalam di masyarakat Sulsel; hingga kini banyak Makam massal menjadi Saksi bisu.
Dalam diplomasi internasional, laporan berakhirnya ini memperkuat posisi Indonesia di meja perundingan, menunjukkan kebrutalan Belanda.
Namun, Westerling tidak pernah diadili secara resmi. Ia bahkan sempat kembali ke Belanda dan hidup tenang hingga wafat tahun 1987.
? Nilai Heroik
Meski 40.000 rakyat gugur, tragedi ini membuktikan:
Rakyat Sulsel tidak tunduk pada teror.
Semangat kemerdekaan lebih besar dari rasa takut.
Pengorbanan mereka menjadi bagian dari fondasi tegaknya Republik Indonesia.
--
(***)