DIBULLY DIAM-DIAM, NAMUN DIBELA LANGIT


Namanya Zahra. Usianya 17 tahun. Pintar, lembut, dan sopan. Tapi hidupnya... penuh badai yang tak terlihat mata.

Dari luar, Zahra tampak seperti remaja biasa. Tapi siapa pun yang mengenalnya lebih dekat akan tahu, dia memikul beban yang terlalu besar untuk usianya. Sejak ayahnya meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu, ibunya jatuh sakit, dan Zahra menjadi tulang punggung keluarga.


Bangun sebelum subuh, bantu ibu berwudhu, lalu berangkat menjual kue keliling sebelum sekolah. Pulang sekolah, ia menyapu masjid, membersihkan rumah tetangga, apa saja... demi bisa membeli obat ibu. Tapi semua itu dia lakukan tanpa pernah mengeluh.

Namun, kehidupan di sekolah tidak sebaik itu.


“Zahra, itu baju atau pel disapu lantai?” ejek Amel, si anak populer yang selalu tampil trendi.

Zahra tersenyum. Jangan membalas. Tapi hatinya? Remuk.

Tak ada yang tahu baju yang ia pakai itu adalah peninggalan almarhum ayahnya. Hanya itu yang tersisa, dan itu yang selalu mengingatkannya bahwa hidup ini harus terus diperjuangkan.


Di kelas, Zahra sering jadi bahan pipa. Tasnya yang robek, sepatu tambalan, bekal nasi garam... semua jadi bahan tawa. Apalagi ketika nilai ujiannya tinggi, guru memuji, justru makin banyak yang membencinya.

“Pasti nyontek, masa anak miskin bisa pinter?” salah satu teman berbisik sinis.


Zahra menahan napas, menunduk.

Tapi semua rasa sakit itu ia simpan dalam diam. Ia hanya akan menangis setiap malam, di balik tirai tipis kamarnya, saat ibunya sudah tertidur.


Sampai suatu hari, Zahra mendapat surat kecil di laci mejanya.

"Kalau kamu lelah, nggak apa-apa nangis. Tapi jangan berhenti. Dunia ini butuh orang baik kayak kamu."

 - H.

Zahra menatap surat itu lama. Tangannya gemetar. Siapa yang mengirim?


Hari-hari berikutnya, surat-surat itu datang lagi. Selalu pendek, tapi tenang.

"Yang sabar ya. Sakit hati itu nggak kelihatan, tapi Allah pasti lihat."


"Mungkin mereka tidak tahu rasanya jadi kamu. Tapi aku tahu kamu kuat."


"Setiap kesabaranmu, Allah catat. Di langit, kamu sedang ditinggikan derajatnya."


Zahra mulai merasa... ada yang mengerti. Tapi siapa?

Suatu sore, saat Zahra sedang menyapu halaman masjid, seseorang datang mendekat.

“Hai, kamu Zahra, kan?”

 Zahra menoleh. Seorang siswa laki-laki dari kelas sebelah. Namanya Haidar. Sering ikut kajian di masjid, anak pengurus DKM. Pendiam, tapi wajahnya teduh.


“Aku yang kirim surat itu,” katanya pelan. “Maaf ya, aku cuma... gak tahan lihat kamu terus-terusan sendirian.”

Zahra kaget. Tak menyangka ada orang yang benar-benar memperhatikannya.

“Kamu tidak perlu kuat sendiri,” tambah Haidar. “Terkadang, Allah mengirimkan kita seseorang… bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk menemani jalan yang berat.”


Sejak itu, Zahra dan Haidar sering berbagi cerita. Haidar jadi sosok yang selalu menguat. Tapi bukan hubungan cinta remaja seperti di drama. Hubungan mereka lebih dari itu — persaudaraan dalam iman. Ia menyemangati Zahra untuk menulis kisahnya. Dia bilang:


“Kesedihanmu bukan untuk dipendam. Bisa jadi, itu cara Allah menganugerahkan pahala… dan memberi pelajaran untuk orang lain.”

Zahra mulai menulis di blog sekolah. Awalnya ditertawakan. Tapi perlahan, tulisannya mulai menyentuh banyak hati. Ia menulis tentang rasa sakit tanpa dendam, tentang sabar tanpa mengeluh.


Tulisan Zahra viral setelah ia menulis:

"Aku memang miskin di dunia. Tapi aku tidak ingin miskin di akhirat. Maka aku memilih diam, karena mungkin diamku lebih mulia daripada membalas hinaan."


Beberapa minggu kemudian, ibunya sembuh perlahan. Usaha kuenya semakin laku karena seorang guru menyebarkan cerita Zahra di media sosial. Bahkan ada dermawan yang membelikan Zahra seragam dan perlengkapan sekolah baru — tanpa ia minta.


Yang lebih mengejutkan, Amel — si anak populer yang dulu selalu menghina Zahra — datang diam-diam.

"Zah... aku minta maaf. Aku baca semua tulisan kamu. Aku kira kamu lemah, ternyata kamu jauh lebih kuat dari aku..."

Zahra tersenyum. Air matanya menetes. Bukan karena sedih, tapi karena doanya dijawab satu per satu.


Di akhir tahun mengajar, nama Zahra disebut sebagai siswi teladan. Bukan karena nilai saja, tapi karena keteladanannya dalam akhlak dan kesabaran.

Di atas podium, Zahra berkata:


“Aku tak meminta hidup yang mudah. ??Aku hanya meminta hati yang kuat untuk menjalaninya. Dan Alhamdulillah… Allah beri lebih dari yang aku minta.”


???? Hikmah Islami:

Kesabarannya pahit, tapi buahnya manis. Dalam Islam, sabar bukan berarti lemah. Tapi itu tanda kekuatan sejati, karena Allah sendiri yang akan membalas setiap tetes air mata yang jatuh karena-Nya.


? Refleksi untuk pembaca:


Pernahkah kamu merasa seperti Zahra? 


Dihina, diremehkan, atau mungkin dipandang sebelah mata hanya karena keadaanmu?


Apa yang kamu lakukan saat dunia tak berpihak? 


Menyerah... atau tetap berdiri dengan hati yang kuat?



Jika kisah ini menyentuhmu, bantu share. Mungkin ada “Zahra-Zahra lain” di luar sana yang butuh tahu… bahwa mereka tidak sendirian.


(***)