Sebelum Jenderal Soeprapto Pergi: Pertanyaan Aneh yang Jadi Pertanda
                                            Tanggal 29 September 1965 menjadi hari yang tak pernah bisa dilupakan oleh Ratna Purwati, putri sulung Mayjen Raden Soeprapto. Pada saat itu, sang ayah tiba-tiba melontarkan pertanyaan yang begitu asing baginya:
> “Kamu sedih bukan kalau Bapak meninggal dunia?”
Ratna tertegun. Pertanyaan itu membuat jantung bergetar, karena selama kematian ini tak pernah menjadi topik pembicaraan dalam percakapan hangat ayah dan anak. Jenderal Soeprapto dikenal sebagai sosok yang penuh nasihat, serius dalam berpikir, namun hampir tak pernah membicarakan soal ajal.
Ratna yang baru berusia 18 tahun kala itu tentu tidak memahami bahwa percakapan singkat itu seperti berbahaya. Ia tidak tahu bahwa ayahnya tengah menjadi sasaran dalam pusaran politik yang semakin panas, terutama karena sikap tegasnya terhadap tuduhan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ditujukan kepada Angkatan Darat.
Malam Terakhir Bersama Keluarga
Keesokan harinya, 30 September 1965, Jenderal Soeprapto pulang membawa tumpukan buku baru. Ratna dan adik-adiknya heran, tetapi tidak terlalu mempermasalahkan karena sang ayah memang menyukai bacaan. Namun, malam itu suasana hati keluarga terasa ganjil.
Adiknya, Sri, pulang larut malam dari acara penyerahan piala lomba lari. Ia tak tahu bahwa malam itu adalah kali terakhir ia melihat sang ayah. Sementara itu, Soeprapto tak bisa tidur karena sakit gigi usai penabutan. Untuk mengalihkan rasa nyeri, ia melukis sebuah karya yang rencananya akan disumbangkan ke Museum Perjuangan Yogyakarta.
Tak ada yang mengira, pada waktu yang sama, kelompok PKI tengah melakukan persiapan akhir pemberontakan di Lubang Buaya.
Fajar Penuh Duka
Dini hari 1 Oktober 1965, tepat pukul 04.30, dentuman keras sepatu lars memecah keheningan. Serdadu Resimen Tjakrabirawa datang, dua regu penuh pasukan bersenjata.
Jenderal Soeprapto sendiri yang membuka pintu.
“Ada apa pagi-pagi tapi mulai membangunkan saya?” tanyanya.
“Bapak dipanggil Presiden Sukarno, harus ikut sekarang juga,” jawab salah satu prajurit.
Dengan hanya mengenakan kemeja piyama dan sarung kotak-kotak, tanpa sempat berpamitan, Soeprapto bisa masuk ke dalam truk. Telepon rumah rusak agar keluarga tak bisa menghubungi siapa pun. Ratna, adik-adiknya, dan ibunya, Yulia, hanya bisa melihat kekecewaan sang kepala keluarga dengan hati yang diliputi tanda tanya.
Kabar Pahit
Pagi itu, istri Pangdam V/Jaya, Karlinah Umar Wirahadikusumah, datang berkunjung, sama sekali belum mengetahui rangkaian pembunuhan yang sedang terjadi. Ia hanya membicarakan persiapan apel HUT TNI. Dari Yulia, barulah Karlinah tahu bahwa Soeprapto telah dijemput pasukan Cakrabirawa.
Beberapa hari kemudian, kabar datang: Mayjen Soeprapto telah menjadi korban penculikan dan pembunuhan di Lubang Buaya. Perayaan HUT TNI ke-20 pun berubah menjadi hari berkabung, melepas jenazah tujuh perwira terbaik Angkatan Darat.
Pertanyaan yang dilontarkan sang jenderal kepada putri sehari sebelum tragedi, kini terasa bagai sebuah isyarat terakhir yang membekas sepanjang hidup keluarga.
Sumber : HistoriA.id
(***)