Disekolah tidak mengajarkan tentang kegagalan—padahal hidup

Dalam sistem pendidikan modern, sekolah sering kali lebih sibuk mengejar angka, peringkat, dan standar kelulusan daripada menanamkan keterampilan hidup yang nyata. Anak-anak diajarkan untuk mendapatkan nilai tinggi, menghafal rumus, dan mengikuti aturan ujian. Namun, sangat jarang mereka mengajarkan bagaimana menghadapi kegagalan—padahal hidup nyata justru penuh dengan jatuh bangun. Inilah salah satu ironi pendidikan: kita dibentuk untuk takut salah, bukan untuk belajar dari kesalahan.
Akibatnya, banyak anak tumbuh dengan mental yang lemah. Mereka merasa gagal adalah aib, sesuatu yang harus dihindari dengan segala cara. Padahal, kegagalan adalah guru terbesar yang bisa mengajarkan kesabaran, ketekunan, dan kreativitas. Sekolah bisa jadi berhasil mencetak anak-anak pintar secara akademis, tetapi gagal membentuk pribadi tangguh yang siap menghadapi kerasnya dunia nyata.
1. Sekolah Terjebak dalam Budaya Angka
Sekolah sering mengukur keberhasilan siswa lewat nilai rapor dan ranking. Anak yang nilainya rendah otomatis dianggap gagal, padahal bisa jadi ia hanya sedang belajar dengan cara yang berbeda. Budaya angka ini membuat anak berpikir bahwa kegagalan tidak boleh ada pada tempatnya.
Padahal dalam hidup, kegagalan adalah bagian wajar dari proses menuju kesuksesan. Tanpa pengalaman jatuh, seseorang tidak akan belajar berdiri lebih kuat. Sayangnya, sekolah jarang memberikan ruang bagi anak untuk gagal, apalagi mengajarkan cara bangkit kembali.
2. Kurikulum Lebih Menekankan Hafalan Daripada Mentalitas
Pelajaran di sekolah lebih fokus pada penguasaan materi akademis. Anak dipaksa menghafal rumus, teori, atau fakta, tetapi hampir tidak pernah mengajarkan keterampilan mengelola emosi ketika gagal. Padahal, inilah kemampuan yang paling dibutuhkan ketika memasuki dunia kerja maupun kehidupan.
Jika anak terbiasa gagal di kelas tanpa ada bimbingan cara bangkit, mereka akan tumbuh dengan rasa takut untuk mencoba. Hidup nyata jauh lebih kompleks daripada ujian pilihan ganda, dan keberanian untuk mencoba—meski sering salah—jauh lebih penting daripada sekadar hafalan.
3. Rasa Takut Salah Membunuh Kreativitas
Sejak kecil, banyak siswa dididik untuk tidak membuat kesalahan. Jawaban salah diberi tanda merah, hukuman, atau bahkan isyarat dari guru dan teman. Hasilnya, anak belajar menutup diri dan bermain dengan aman, daripada berani bereksperimen.
Padahal, orang-orang besar dalam sejarah—dari ilmuwan hingga pengusaha—selalu melalui ratusan kegagalan sebelum menemukan jalan sukses. Jika sekolah terus mengajarkan bahwa salah itu buruk, maka sekolah secara tidak langsung mematikan kreativitas anak sejak dini.
4. Dunia Nyata Lebih Membutuhkan Mental Tahan Banting
Di luar bangku sekolah, kita akan dihadapkan pada kegagalan: ditolak kerja, gagal bisnis, kehilangan uang, atau ditinggalkan orang yang dicintai. Semua ini tidak ada di buku pelajaran. Ironisnya, anak-anak yang pintar di sekolah sering kali terkejut ketika pertama kali gagal di dunia nyata.
Mental tahan banting, kemampuan bangkit setelah jatuh, dan keberanian untuk mencoba lagi—itulah yang sebenarnya dibutuhkan. Jika sekolah tidak mengajarkannya, maka anak-anak harus belajar sendiri melalui jalan yang lebih keras, dan sering kali penuh luka.
5. Pendidikan Sejati Harus Membebaskan, Bukan Menjinakkan
Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan, pernah mengatakan bahwa pendidikan seharusnya memerdekakan manusia, bukan menjinakkannya. Mengajarkan anak untuk siap gagal adalah bentuk pendidikan yang memerdekakan, karena dari kegagalan mereka belajar berpikir kritis, beradaptasi, dan menemukan jalan mereka sendiri.
Jika sekolah hanya menekankan kepatuhan dan pemeringkatan, maka ia sedang menjinakkan siswa agar takut keluar jalur. Namun, jika sekolah berani berani bangkit dari kegagalan, maka ia sedang membentuk generasi yang tangguh, mandiri, dan siap mengubah dunia.
?
Sekolah seharusnya tidak hanya melatih anak untuk menjadi pintar, tetapi juga untuk menjadi tangguh. Kegagalan bukanlah musuh yang harus dihindari, melainkan sahabat yang bisa membentuk kepribadian. Jika anak-anak tidak diajarkan bagaimana bangkit setelah jatuh, mereka akan tumbuh menjadi generasi yang rapuh, mudah menyerah, dan takut menghadapi kenyataan hidup.
Maka, sudah saatnya paradigma pendidikan berubah. Belajar bukan hanya soal benar atau salah, bukan hanya soal angka di rapor, melainkan soal keberanian untuk mencoba, gagal, lalu bangkit kembali. Sebab, di dunia nyata, pemenang sejati bukanlah mereka yang selalu benar, melainkan mereka yang tidak pernah berhenti mencoba meski berkali-kali salah.
(***)