Si Rajin dan Si Malas
Siska dan Linda, dua pelajar di sebuah sekolah yang memiliki karakter berbeda. Karena karakter yang berbeda itulah, Pak Salim, Guru Bahasa Indonedia menjuluki mereka dengan sebutan si rajin dan si malas.
Siska si rajin dan Linda si malas. Siska berpredikat demikian karena memang kesehariannya ia salah satu siswa yang tekun belajar, aktif dalam berbagai kegiatan OSIS, hadir di sekolah tepat waktu bukan saja saat apel harian juga tapi saat upacara dan piket hariannya, menggunakan waktu luangnya seefektif mungkin.
Linda tidaklah demikian. Julukan si pemalas mungkin punya alasan kuat baginya. Siswa prfokatif dan menjadi ketua bagi teman-temannya untuk tidak belajar apalagi kerjakan tugas PR dilakoninya. Bukan itu saja, setiap perintahnya menjadikan kelompoknya malas datang ke sekolah, berleha-leha dalam melaksanakan piket harian, pembolos, pembangkangan tatatertib sekolah dan tidak menghormati guru.
Pagi itu, saat jam pelajaran Bahasa Indonesia dimulai, pak Salim menanyakan kepada siswa mengenai tugas menulis cerpen tema pendidikan.
“Siska, apakah kamu sudah mengerjakan tugas Bahasa Indonesia yang Bapak berikan?”
“Sudah Pak,” jawab Siska.
“Bagus sekali Siska, kamu memeng siswa yang rajin dan cerdas”.
“Linda, apakah kamu sudah mengerjakan tugas Bahasa Indonesia yang Bapak berikan tempo hari?”
“Belum Pak,” jawab Linda tanpa rasa bersalah.
“Kok, belum diselesaikan?”
“Saya tidak bisa Pa, soalnya sulit pak.”
“Siapa bilang sulit? Bilang saja kalau kamu ini malas mengerjakannya. Tak perlu cari-cari alasan, ya?”
“Bukan seperti itu, Pak”
“Cukup. Pak tidak mudah dikibuli seperti guru lainnya. Sudahlah Nak, alasanmu tidak jelas. Mulai sekarang kamu harus belajar giat. Coba dekat dengan Siska, dia akan membantu kamu.”
“Iya Pak.”
Mendengar saran pak Salim untuk belajar dengan Siska membuat Linda kesal. Ia sama sekali tidak menyukai Siska lantaran Siska dari kalangan sederhana sementara dirinya dari keluarga berada.
Linda bukannya belajar dengan Siska melainkan memaksakan kehendaknya sambil mengancam Siska mengerjakan semua tugas-tugasnya dari sekolah.
“Siska, mulai sekarang semua tugasku kamu yang mengerjakannya!”
“Apa maksud kamu, Linda? Siska menyanya heran.
“Hei, kamu jangan pura-pura tuli. Aku mau kamu yang mengerjakan semua tugas-tugasku. Berapa pun yang kamu minta aku akan bayar.”
“Enak saja. Aku ini bukan pembantumu.”
“Jangan membantah perintahku! Apa bayarannya ditambah? Ataukah perlu kamu setiap hari kupermalukan di sekolah?”
“Dengar ya Linda, aku ini diminta sama pak Salim untuk membantumu dalam belajar supaya kamu juga bisa mengerjakan tugas. Bukan dengan cara kamu memaksa dan mengancam seperti itu. Aku tahu kamu punya banyak uang, tapi minta maaf, aku bukan orang yang gampang kamu beli dengan rupiah orang tuamu.”
“Sombong sekali kamu. Sadar diri donk kamu itu siapa!”
“Aku tahu, aku sadar akan keberadaanku.”
“Jadi sekarang kamu mau bantu aku atau tidak!”
“Aku mau bantu kamu tapi dengan satu syarat.”
“Syaratnya apa, Siska?”
“Kalau kamu benar-benar mau belajar, belajarlah karena minat datang dari dalam dirimu bukan karena keterpaksaan atau dipaksa. Kamu pasti bisa mengerjakan semua tugas-tugas sekolah asalkan kamu terus berusaha dan tidak menyerah.”
Perkataan Siska membuat Linda terperanjat dan malu. Ia merasa bersalah dengan sikapnya itu. Ia tak menyangka bahwa temannya yang dia benci itu peduli padanya, rela mau menolongnya, dan mampu membuatnya sadar.
“Siska, maafkan aku ya.”
“Tak apa Linda.”
“Selama ini aku selalu bersikap kasar dan merendahkan kamu. Aku egois, dan dengan kesombonganku. Semuanya dapat kumiliki tanpa harus bekerja keras.”
“Syukurlah kalau kamu menyadari hal itu. Ingatlah, yang kaya itu bukan kamu tapi orang tuamu. Kamu bisa menikmati kekayaan orang tuamu tapi itu sifatnya sesaat saja. Masa depanmu bukan ditentukan oleh banyaknya kekayaan orang tua tetapi banyaknya pengetahuan yang kamu miliki dan ada di tanganmu sendiri.”
Linda terdiam sesaat. Siska melanjutkan lagi bincangan pada karibnya itu.
“Jadi, mulai sekarang belajarlah dengan giat supaya kelak kamu bisa berhasil dan sukses oleh karena usahamu sendiri. Demikian pula aku, dalam segala keterbatasanku, aku terus belajar dengan giat supaya kelak nasibku bisa berubah tidak seperti sekarang ini.
“Kamu benar Sis. Terima kasih. Kamu telah menyadarkan aku. Mulai sekarang, aku akan mengubah pola hidupku. Aku ingin rajin dan berprestasi di sekolah sampai orangtuaku bangga padaku.”
“Sama-sama Lin.”
Semenjak saat itu, ia sangat menghargai dan menyayangi Siska. Ia pun rajin belajar dan lambat laun sikap makin baik dan dipuji teman-teman sekolahnya. Ia makin berhikmat dan dicintai.(***)