Jenderal Soedirman yang Terlupakan
Djuari, Pemikul Tandu Jenderal Soedirman yang Terlupakan: Jejak Setia Sang Pejuang dari Kediri.
Di balik legenda besar Jenderal Soedirman, Panglima Besar yang memimpin perang gerilya dengan paru-paru tinggal di sebelah, tersimpan kisah sunyi seorang lelaki sederhana bernama Djuari. Sosoknya nyaris tak tercatat dalam buku sejarah, namun di pundaknya, pernah terletak beban berat tandu sang jenderal beban yang bukan hanya berupa tubuh seorang pemimpin, tapi juga harapan kemerdekaan sebuah bangsa.
Kini, di usia senjanya, Djuari hidup dalam kesederhanaan di Desa Goliman, Kediri, Jawa Timur. Tubuhnya kurus, rumahnya masih berlantai tanah, namun semangat juangnya tetap menyala. Tak ada tanda kehormatan di dinding rumahnya, tak ada monumen mengenangnya, hanya kenangan yang terus ia simpan di dalam hati.
Ia mulai mengikuti Jenderal Soedirman sejak berusia 21 tahun muda, kuat, dan penuh semangat. Bersama tiga sahabatnya, Karso, Wato, dan Joyo, Djuari mendapat tugas yang luar biasa berat: memikul tandu sang Panglima Besar dalam perang gerilya melawan Belanda pada tahun 1948.
Perjalanan mereka dimulai dari Desa Magarsari Majulan, Kecamatan Majeret, Kabupaten Nganjuk. Jalur yang dilalui bukan jalan biasa — mereka harus melintasi bukit-bukit terjal, hutan lebat, dan sungai-sungai dingin, sambil menghindari kejaran tentara Belanda. Di bawah sinar bulan dan hujan lebat, mereka terus berjalan.
“Mikul Pak Dirman, saya ingat betul... waktu itu susah, tapi kami senang bisa ikut berjuang,” tutur Djuari lirih, mengenang masa-masa itu dengan mata berkaca-kaca.
Dalam perjalanan itu, rombongan kecil mereka dikawal oleh para petarung tangguh seperti Tjokropranolo, Supardjo Rustam, Suwondo, dan Heru Tjokro. Meski berat, tak ada keluhan dari Djuari. Sebaliknya, ia merasa terhormat dapat menjadi bagian dari perjuangan besar itu.
Bagi Djuari, mengangkat tandu bukan sekadar tugas fisik. Itu adalah simbol pengabdian, tanda bakti kepada negeri dan pemimpinnya. Ia bahkan masih mengingat betapa bahagianya ia dan kawan-kawan ketika Jenderal Soedirman menghadiahkan selendang panjang kepada tanda kasih sayang mereka dan dianugerahi dari seorang pemimpin kepada rakyat kecil yang turut menegakkan kemerdekaan.
“Walaupun saya hanya pemikul, saya senang. Semua saya melakukan ikhlas, tanpa ketidakseimbangan apa pun,” katanya dengan senyum yang sederhana, namun penuh makna.
Kini, di usia lanjut, Djuari hanya hidup dari kenangan dan doa. Ia tak menyesal, meski namanya tidak tertulis dalam sejarah resmi. Baginya, bisa memanggul tandu Pak Dirman adalah kehormatan yang lebih besar dari segala penghargaan dunia.
Kisah Djuari mengingatkan kita bahwa di balik kemegahan nama-nama besar kemerdekaan, ada ribuan sosok kecil yang berjuang dalam diam pahlawan tanpa tanda jasa yang memanggul beban bangsa dengan hati yang tulus. Mereka mungkin terlupakan oleh sejarah, tapi tanpa mereka, mungkin sejarah itu takkan pernah ada.
(***)