Kisah Soerja seorang pria Indonesia yang berjuang hidup di Suriname.



Aku Pulang Lewat Angin: 

Kisah Soerja dari Ketanggoengan”


Dari tanah Ketanggoengan, di lembah sunyi barat Brebes,

seorang pemuda bernama Soerja (Surja) berpamitan pada pagi yang berat. Usianya sembilan belas tahun,

kulitnya legam oleh matahari sawah, dan di matanya, ada cahaya kecil dari harapan yang terlalu jauh.


Ia tak membawa harta, hanya selembar kontrak dan restu seorang ibu yang menahan air mata di tepi jalan.

Kontrak itu berbahasa asing, menjanjikan kerja lima tahun di negeri bernama Suriname.

Negeri yang bahkan tak pernah mendengarnya sama sekali

Negeri yang hanya dikenal lewat kabar dari para perantau yang tak pulang.


Tanggal 7 Mei 1928,

kapal “Sembilan” menunggu di pelabuhan Batavia (Saat ini Pelabuhan Sunda Kelapa), Dia menatap tajam besi dan layar yang akan menelan masa mudanya.

Ratusan jiwa dari Jawa naik ke dek itu,

berdesakan, menatap ombak yang luas,

meninggalkan ladang tebu, sawah, dan aroma tanah basah yang takkan kembali.


“Aku Soerja,” katanya dalam hati,

“Dari Ketanggoengan, Brebes, Gewest (Karesidenan) Pekalongan

Aku Muslim, umurku 19 tahun, tinggi seratus enam puluh senti"


Samudra luas jadi kitab yang menulis nasib.

Bulan berganti di atas geladak,

dan pada 21 Juni 1928,

ia mencapai tanah baru, Paramaribo, Suriname.


Di sana, matahari sama teriknya

Namun tak ada gamelan, 

tak ada azan dari surau bambu.

Yang ada hanya suara cambuk,

aroma tebu terbakar, dan tubuh-tubuh yang bekerja tanpa nama.

Di malam hari, Soerja menatap langit barat,

mencari bintang yang mungkin juga bersinar di atas Ketanggoengan.


Lima tahun berlalu

kontraknya berakhir pada 21 Juni 1933,

tapi sejarah tak menulis apakah ia kembali.

Mungkin jasadnya beristirahat di ladang yang jauh,

Mungkin namanya hilang di antara karung-karung gula yang dikirim ke Eropa.

Yang tersisa hanyalah lembar arsip di Den Haag,

selembar kertas dingin yang bertuliskan:


“Soerja, 19 tahun. Ketanggoengan, Afdeling Brebes, Gewaest Pekalongan. Islam. 160 cm. Vertrokken met schip 'Sembilan'.”


Nama yang dulu hidup,

kini jadi baris data di museum kolonial.

Tapi dibalik huruf-huruf itu,

masih ada degup manusia

seorang anak Jawa yang pergi mencari hidup,

dan menemukan keheningan di tanah asing.


Dan bila malam datang di Ketanggungan,

dan angin bertiup lembut dari arah barat,

mungkin ada bisikan halus dari jauh:


“Aku Soerja, anakmu yang berlayar.

Dan tak pernah kembali

Laut memanggilku jauh, tapi rinduku pulang ke tanahmu.

Simpan namaku di antara doa doamu"


Sumber : Arsip Nasional Ga Het (Lembaga Arsip Nasional Belanda)

(***)