Cerita: Lahan yang Menangis



Di sebuah desa di tanah Nusantara pada masa kolonial, hidup sebuah keluarga kecil yang terjebak dalam penderitaan. Matahari bersinar terik di atas kepala, namun tanah yang pijak mereka terasa lebih menghanguskan daripada cahaya langit—karena tanah itu bukan milik mereka, melainkan tanah yang dipaksakan untuk mereka kelola demi keuntungan penjajah.


Seorang ayah kurus kering, tulangnya menonjol seolah tubuhnya hanya tinggal rangka yang dibungkus kulit. Di sebelahnya, istrinya yang renta dan lemah, tetap mengulurkan tangan alat bajak sederhana, meski tangannya gemetar kelelahan. Kedua anak kecil mereka berdiri tanpa baju, memegang keranjang kecil berisi hasil panen yang tak secukupnya. Itu pun bukan seluruhnya hak mereka—hanya sisa dari kewajiban yang harus diserahkan.


Di belakang mereka, berdiri tegak untuk tentara kolonial. Seragam rapi, sepatu mengkilap, senapan panjang di tangan. Mereka tidak bekerja, tapi mereka memaksa orang lain untuk bekerja. Wajah mereka dingin, seolah tak ada rasa kasihan menyaksikan rakyat yang sudah hampir kehilangan tenaga dan harapan.


Ayah itu menatap lurus ke depan, bukan pada tentara, bukan pada tanah, tetapi pada masa depan yang entah seperti apa. Dia tahu, jika dia berhenti bekerja, keluarganya bisa kehilangan lebih banyak dari sekedar makanan. Ibu itu menunduk dengan tubuh lemah, tetapi matanya menyimpan doa agar kelak, anak-anaknya tak lagi merasakan perbudakan penjajahan.


Anak-anak itu berdiri diam, belum mengerti arti kata “penjajahan,” namun mereka merasakan lapar, lelah, dan ketakutan. Mereka tidak tahu bahwa suatu hari, tanah yang penuh air mata ini akan kembali menjadi milik bangsanya sendiri—namun dengan harga yang sangat mahal.


Hari itu, sawah bukan hanya tempat cocok ditanam. Sawah menjadi saksi ketidakadilan, tempat di mana manusia menjadi budak di tanah leluhurnya sendiri.


Namun dalam setiap langkah kaki yang lemah, ada doa, ada harapan, dan ada keberanian diam-diam. Karena meski tubuh mereka diperintah, hati dan mimpi mereka tetap merdeka.


(***)