PEKERJA WANITA YANG KE SURINAME ASAL BREBES
                                            Dari Saditan ke Suriname:
Kisah Kalimah, Gadis cantik dari Brebes yang Menyeberangi Lautan Takdir
Di Saditan, Sebuah desa di pesisir Brebes yang lembap oleh aroma lumpur sawah, lebih dari satu abad yang lalu, lahirlah seorang anak perempuan cantik bernama Kalimah.
Abad ke-20 baru saja beranjak, namun bayang-bayang kolonial masih menindih dada rakyat kecil.
Dalam tubuh mungil setinggi seratus lima puluh tiga sentimeter itu, bersemayam jiwa yang lebih luas dari samudra —
mata teduhnya menyimpan tabah, sambil menahan doa-doa yang tak sempat terucap.
Ketika kabar datang bahwa pemerintah Hindia Belanda membuka perjalanan ke negeri jauh bernama Suriname,
Kalimah menandatangani kontrak lima tahun.
Bukan karena ambisi,
tetapi karena kehidupan di tanah sendiri kadang lebih sempit daripada kapal asing di pelabuhan Tanjung Priok.
Tanggal 5 Mei 1925, di bawah langit yang penuh uap garam,
Di usia yang baru 21 tahun, ia menaiki kapal bernama Blitar, meninggalkan Brebes dan masa mudanya,
membawa serta hanya satu hal yang tak bisa dirampas: harapan.
Hari-hari di lautan panjang dan tunggal.
Di geladak kapal, di antara debur ombak dan tangis sesama penumpang,
ia menatap langit malam yang sama, langit yang dulu menyinari Saditan,
dan kini menjadi Saksi seorang gadis Jawa menulis takdirnya sendiri di atas air asin dan kesepian.
Ia mengingat ayahnya, Soleman, suara azan magrib dari surau desa,
dan bayangan sawah yang menguning di ujung musim.
Setiap ombak yang menghantam lambung kapal, seolah-olah berbisik:
“Pergilah, tapi jangan lupa dari mana kamu berasal.”
Ketika akhirnya Paramaribo menyambutnya,
matahari terasa lebih tajam dari Brebes,
tanahnya tak mengenal lumpur sawah,
dan bahasa orang-orang disekitarnya terdengar seperti doa yang salah ucap.
Namun Kalimah tak menyerah.
Di perkebunan Accaribo, ia menanam bukan hanya tebu,
tetapi ketabahan.
Dan dari ketabahan itu, tumbuhlah cinta.
Cinta itu bernama Singapradja, lelaki dari Cicalengka, tanah Priangan yang jauh namun senasib dalam perantauan.
pada tanggal 30 Maret 1933, mereka menikah
bukan dengan pesta megah, melainkan dengan hati yang lega,
karena dua jiwa yang tercerai oleh takdir akhirnya menemukan rumah di dada masing-masing.
Dari rahim Kalimah lahir enam cahaya kehidupan:
Soeparmie, Saipan, Misnah, Sakimin, Soewandi, dan Namsijah.
Anak-anak yang tak lagi mengenal aroma tanah Brebes,
namun membawa dalam darahnya denyut Laut Jawa dan doa seorang ibu dari Saditan.
Kalimah tak pernah pulang.
Namun ia pulang dalam cara yang lain —
melalui setiap anak yang tumbuh di tanah asing,
melalui setiap nama yang disebut dengan lidah Suriname tapi berdarah Jawa.
Pada tahun 1955, ia memilih nama baru bagi keluarganya: Singapradja,
nama suaminya, nama cintanya,
nama yang akan menempati zaman dan generasi,
dari pantai Karibia hingga gema ombak di Brebes dan hijaunya pegunungan Cicalengka.
Mbok Kalimah berangkat sebagai buruh kontrak,
namun pulang sebagai akar, sebagai ibu peradaban kecil yang melambangkan dua dunia.
Ia bukan sekedar perempuan yang tersebar di lautan,
tetapi lautan itu sendiri — luas, tabah, dan tak pernah berhenti mengandung kehidupan.
Sumber : Arsip Nasional Ga Het (Lembaga Arsip Nasional Belanda)
(***)