Pemimpin Adat MARI LONGA
Mengapa Belanda harus mendatangkan Kapten Terkejam dari Aceh hanya untuk menundukkan seorang Mosalaki di pedalaman Flores?
MARI LONGA (sekitar 1855–1907), seorang Mosalaki (pemimpin adat) dari Desa Watunggere, Ende-Lio, Flores, adalah simbol perlawanan rakyat setempat terhadap kolonialisme Belanda. Ia memimpin pertempuran sengit yang berlangsung belasan tahun. Perjuangannya tercatat dalam lima perang koloni yang menjadi kisah heroik sekaligus tragis bagi rakyat Ende.
I. Latar Belakang:
Lahirnya "Pohon Pahit" dan Penolakan Pajak (1855–1893)
Lahirnya Sang Pemimpin: Mari Longa terlahir dengan nama Leba Longa, tetapi diganti menjadi Mari Longa setelah sering sakit-sakitan. Nama Mari diambil dari nama pohon yang kulitnya pahit dan kayunya keras, melambangkan harapan agar ia tumbuh kuat dan tangguh.
Sebagai pemimpin adat, Mari Longa menyaksikan langsung penderitaan rakyat Flores akibat kebijakan sewenang-wenang Belanda, terutama penarikan upeti (pajak) yang sangat tinggi dan intervensi kolonial.
Perang Terbuka Dimulai (1893), Mari Longa secara terang-terangan menolak membayar upeti. Dengan semboyan “topo doga, ae bere iwa sele“ (tanpa menyerah dan tak kenal lelah), ia menyatakan perang terbuka terhadap Belanda.
II. Kronologi Perang Koloni (1893–1906): Ana Fua yang Tak Terkalahkan
Mari Longa memimpin pasukannya yang dinamai Ana Fua (Pasukan Lebah). Pasukan ini terkenal sangat tangguh karena menguasai medan pertempuran di hutan-hutan dan pegunungan Lio.
Perang Koloni I & II (1893–1902): Strategi Gerilya: Mari Longa menggunakan strategi gerilya dan perang terbuka. Ana Fua akan menyerang pos-pos Belanda secara tiba-tiba, lalu menghilang ke hutan.
Dalam Perang Koloni II, Mari Longa bahkan berhasil menggiring pasukan Belanda ke hutan hingga mereka kewalahan dan terpaksa meminta perdamaian.
Belanda sempat berjanji menjadikan Mari Longa Raja Watunggere sebagai syarat perdamaian, tetapi janji itu diingkari, memicu kemarahan Mari Longa.
Perang Koloni III & IV (1905–1906): Pembalasan yang Menghancurkan: Belanda merespons perlawanan yang terus berlanjut dengan membakar kampung Lewa Nggere. Mari Longa membalas dengan membantai serdadu Belanda yang menyerang.
Pada Perang Koloni IV, Belanda mengalami kerugian besar setelah puluhan pasukannya tewas terkena perangkap anak panah otomatis yang dipasang Mari Longa di jalur masuk Benteng Watunggere. Pasukan Belanda terpaksa ditarik mundur ke Ende.
III. Tragedi di Watunggere: Gugurnya Sang Pahlawan (1907)
Kekalahan beruntun ini membuat Belanda murka. Mereka menyadari perlawanan Mari Longa tidak akan berhenti dengan mudah.
Kedatangan Kapten Christoffel: Pemerintah kolonial akhirnya mengirimkan bala bantuan besar, termasuk pasukan elit Marsose yang dipimpin oleh Kapten Hans Christoffel, seorang komandan yang terkenal kejam dari Perang Aceh.
Perang Koloni V (1907): Christoffel tiba di Ende pada Agustus 1907 dan segera melancarkan operasi besar-besaran untuk menundukkan Lio. Mari Longa dan pasukannya bertempur mati-matian di benteng pertahanan mereka di Watunggere.
Meskipun Benteng Watunggere dipertahankan dengan gigih, kekuatan persenjataan Belanda jauh lebih unggul. Pada puncak pertempuran, Mari Longa gugur di depan bentengnya sendiri di tangan Kapten Christoffel.
Legenda Lokal: Konon, karena kesaktiannya, Mari Longa tidak mudah ditembus peluru. Setelah gugur, serdadu Belanda membelah dada Mari Longa dan menemukan hatinya berbulu serta seekor lebah kuning, yang dipercaya sebagai sumber kekuatannya.
Gugurnya Mari Longa pada tahun 1907 mengakhiri perlawanan besar di Lio, tetapi semangatnya menjadi inspirasi abadi bagi rakyat Flores dalam melawan kolonialisme.
Sumber Utama Peristiwa dan Detail:
F. X. Sunaryo, Sejarah Kota Ende
Kisah Turun-Temurun Keturunan Mari Longa di Watunggere, Ende (dihimpun oleh Jurnalisme Lokal)
Sejarah Perlawanan di Nusa Tenggara Timur (Pusat Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud)