Kisah Jenderal Wismoyo Arismunandar, Baru Gabung Kopassus Langsung Tumpas DI/TII dan PKI.
Lahir dari keluarga sederhana di Bondowoso, Jawa Timur, Jenderal TNI (Purn) Wismoyo Arismunandar tumbuh dalam kerasnya kehidupan pedesaan yang penuh perjuangan. Ayahnya hanyalah seorang pegawai rendahan di pemerintahan Belanda, membuat masa kecil Wismoyo tidak pernah lepas dari kesulitan ekonomi. Namun justru dari keterbatasan itu, lahirlah pribadi yang tangguh, berani, dan pantang menyerah.
Ketika usianya baru menginjak tujuh tahun, situasi revolusi kemerdekaan memaksa keluarganya mengungsi demi keselamatan. Di pengungsian, Wismoyo kecil menggembala kambing untuk membantu keluarganya. Di padang yang sepi, di bawah terik matahari dan dinginnya embun pagi, terbentuklah jati diri seorang pemimpin sejati mandiri, disiplin, dan penuh tanggung jawab.
Setelah masa pengungsian berakhir, ia kembali menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) Bondowoso, lalu melanjutkan ke SMP dan SMA Negeri 1 Semarang. Di sekolah, Wismoyo dikenal cerdas, berwibawa, dan tegas dalam kebijaksanaan. Salah satu kisah menarik masa mudanya adalah ketika ia menjadi makelar karcis bioskop. Ia tak segan berjuang untuk mempertahankan harga karcis yang dijualnya sebuah bukti bahwa keberaniannya sudah tampak sejak dini.
Setelah lulus SMA pada tahun 1960, Wismoyo memilih jalan hidup yang penuh risiko: bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dorongan kuat untuk menjadi prajurit yang datang dari lingkungannya yang akrab dengan dunia militer, terutama dari pamannya yang juga seorang tentara. Berbekal tekad baja dan semangat pantang menyerah, ia lolos seleksi dan diterima di Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang.
Begitu lulus dengan Letnan Dua, Wismoyo langsung bergabung dengan pasukan elite Kopassus yang kala itu masih bernama Kopassandha. Dari namanya mulai dikenal di medan tempur. Dalam waktu singkat, ia ikut serta dalam operasi penumpasan pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dan G30S/PKI di berbagai daerah. Keberaniannya yang luar biasa membuat atasannya terpukau, hingga ia dipercaya memegang jabatan prestisius sebagai Komandan Pengawal Pribadi Presiden Soeharto (Danwalpri) posisi yang hanya bisa dijabat oleh prajurit terbaik pilihan bangsa.
Namun semangat juangnya tak berhenti di situ. Setelah bertugas di lingkungan istana, Wismoyo kembali ke jantung pasukan khusus dan menjadi Komandan Kompi Grup 4 Kopassus. Ia memimpin berbagai operasi penting seperti Operasi Wibawa di Papua serta penumpasan gerakan PGRS/Paraku di Kalimantan. Pendidikan militernya di Seskoad dan Sesko ABRI memperkuat kapasitas kepemimpinannya hingga akhirnya ia menjabat sebagai Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus ke-9 pada tahun 1983.
Karier militernya terus menanjak gemilang. Ia dipercaya menjadi Kasdam IX/Udayana, kemudian Pangdam XVII/Cenderawasih, Pangdam IV/Diponegoro, hingga Pangkostrad dan Wakasad pada tahun 1992. Puncaknya, ia didaulat menjadi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-17, sebuah jabatan yang menandai puncak karier militernya.
Dalam perjalanan hidupnya, tak hanya prestasi yang mengiringinya, tapi juga kisah cinta yang manis. Saat menjabat sebagai Danwalpri, Wismoyo bertemu dengan Raden Ajeng Datiet Siti Hardjanti, adik kandung Ibu Tien Soeharto. Melalui perantara Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut), Wismoyo akhirnya memberanikan diri melamar Datiet. Meski gugup saat berhadapan langsung dengan Presiden Soeharto, keberanian dan ketulusannya membuahkan restu. Pernikahan mereka berjalan harmonis dan dikaruniai dua anak.
Kisah hidup Jenderal Wismoyo Arismunandar adalah potret keteguhan hati seorang anak bangsa dari gembala kambing di tanah Bondowoso hingga menjadi jenderal besar yang disegani. Ia bukan hanya simbol keberanian militer, tetapi juga teladan tentang kerja keras, kesetiaan, dan cinta tanah air yang tak pernah padam.
(***)