Kapten I Wayan Dipta: Pahlawan Muda Bali yang Gugur di Pelukan Ibu Pertiwi



Di tanah kelahiran para dewa, Bali, pernah lahir seorang pemuda pemerintahan bernama Kapten I Wayan Dipta. Ia bukan hanya pejuang kemerdekaan, tetapi juga simbol keberanian dan keteguhan hati dalam mempertahankan kehormatan bangsa. Lahir pada 11 April 1926 di Gianyar, Bali, Wayan Dipta tumbuh sebagai sosok cerdas dan berpendidikan di masa di mana sekolah hanyalah kemewahan bagi segelintir orang. Ia menempuh pendidikan di Taman Siswa Denpasar dan melanjutkan ke Yogyakarta, sebuah langkah besar bagi anak muda Bali kala itu.


Namun, masa mudanya tidak dihabiskan untuk bersenang-senang. Semangat revolusi yang berkobar di seluruh nusantara bermukim kembali ke Bali. Ia memilih bergabung dengan Badan Perjuangan di Denpasar dan kemudian memimpin gerakan di daerah asalnya, Gianyar. Di sana, ia menjabat sebagai Ketua Umum Pemuda Republik Indonesia (PRI) cabang Gianyar, sebuah organisasi yang berperan penting dalam menyebarkan semangat nasionalisme di Pulau Dewata.


Kepemimpinannya yang tegas dan karismatik membuat PRI berkembang pesat. Namun, keberhasilannya mengundang kecemasan pihak Belanda yang kemudian membentuk organisasi tandingan bernama Pemuda Pembela Negara (PPN) kelompok yang berpihak kepada Belanda dan menentang perjuangan kemerdekaan.


Ketegangan antara PRI dan PPN pun tak terhindarkan. Dalam satu masa penuh ketegangan itu, Kapten I Wayan Dipta bersama rekan-rekannya tertangkap oleh Belanda dan diserahkan kepada PPN. Di tangan bangsanya sendiri yang telah berpihak pada penjajah, Wayan Dipta mengalami penderitaan yang luar biasa. Ia dicambuk, digantung, disiram air cabai, dan dipukul, namun tidak ia mengeluarkan mimpi atau menghidupkan perjuangan bangsanya.


Ketika penyiksaannya tidak juga menghasilkan pengakuan, pihak PPN memutuskan untuk mengeksekusinya. Dengan penuh keberanian, ia menolak menutup mata dan dengan suara lantang berteriak, “Merdeka!” Peluru pertama tak mampu merenggut nyawanya, dan dengan ketenangan seorang patriot sejati, ia meminta agar eksekutor mengulangi tembakannya. Akhirnya, tubuhnya roboh di pelukan ibu pertiwi, tepat sehari setelah ulang tahunnya, pada 12 April 1946 di usia yang masih sangat muda, 20 tahun.


Jenazah sang pahlawan kemudian dimakamkan di sebelah utara Pura Dalem oleh Wayan Nasa dari Banjar Palak Sukawati. Perjuangan belum berakhir di sana, karena semangatnya diteruskan oleh sang adik, Made Japa, yang kemudian berjuang bersama Resimen Ngurah Rai di garis depan.


Sebagai bentuk penghormatan terhadap keberanian dan pengorbanannya, nama Kapten I Wayan Dipta kini diabadikan menjadi nama stadion sepak bola kebanggaan masyarakat Bali, yakni Stadion Kapten I Wayan Dipta di Gianyar. Stadion dengan kapasitas 15.860 penonton ini pernah menjadi markas Persegi Gianyar, lalu sempat terbengkalai, sebelum akhirnya kembali menggema dengan semangat perjuangan lewat sorak-sorai Bali United FC — klub yang kini menjadikan stadion tersebut sebagai kandang resmi.


Kini, setiap kali suara riuh suporter menggema di stadion itu, seolah terdengar kembali gema kata terakhir sang pahlawan muda:

“Merdeka!”

Suatu seruan yang tak lekang oleh waktu, dari seorang anak bangsa yang mati muda demi tegaknya kehormatan negeri.

Sumber: gpriorty.co.id


(***)