Banyak Orang Tionghoa Ikut Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya

Banyak juga orang Tionghoa yang ikut dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya melawan Sekutu


"Rakjat Tionghoa poen insjaf akan hal ini. Dengan bekerdja bersama, bahoe-membahoe dengan bangsa Indonesia, rakjat Tionghoa toeroet berdjoeang di Soerabaja oentoek Indonesia Merdeka," begitu bunyi salah satu paragraf dalam sebuah artikel berjudul "Pendoedoek Tionghoa Membantoe Kita"


Benar, tak lain dan tak bukan, artikel ini memang terkait Pertempuran Surabaya 10 November 1945 yang heroik itu. Pertempuran itu kelak dihormati sebagai Hari Pahlawan dan Surabaya dinobatkan sebagai Kota Pahlawan.


Dalam pertempuran yang berlangsung sekitar tiga minggu itu, enam ribu korban meninggal dari pihak Indonesia. Sebagian besarnya adalah orang-orang keturunan Tionghoa. Sementara korban dari tentara Inggris hanya 600 orang.


Setelah tiga minggu berjuang hingga tetes darah penghabisan, para pemuda akhirnya harus menyerah sementara Kota Surabaya berhasil dikuasi sepenuhnya oleh Sekutu. Mereka pun terpaksa mengungsi ke luar kota bersama para pengungsi lainnya.


Ratusan ribu orang terlibat dalam pertempuran itu. Menurut catatan, sektiar 100 ribu orang berasal dari kalangan nonmiliter. Sementara jumlah tentara cuma 20 ribu. Bandingkan dengan tentara Inggris, yang 30 ribunya adalah tentara semua, persenjataannya pun lengkap tak kurang apa pun.


Dari ratusan ribu pejuang itu, ada ratusan orang Tionghoa yang ikut berjuang. Tak hanya dari Surabaya, dari Malang pun ada.


Bantuan medis dari Malang


Dikutip dari Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara sampai Indonesia-nya Iwan Santosa, pada 10 November 1945 pukul 22.00, seorang Tionghoa berpidato dalam bahasa Mandarin. Dia bilang, betapa besarnya korban yang jatuh di kalangan masyarakat Tionghoa. Dia mendesak perlunya pembentukan TKR Tionghoa.


Sementara pidato dalam bahasa Inggris dilakukan oleh seorang gadis Tionghoa yang meminta perhatian Pemerintah Chungking (Republik Tiongkok) tentang kekejaman militer Inggris di Surabaya.


Banyaknya korban akibat serbuan militer Sekutu itu dilansir Kantor Berita Reuters, yang menyebut angka ribuan. Lelaki, perempuan, sipil maupun militer, dewasa maupun anak-anak. Ikut menjadi korban juga orang Tionghoa, Indo Belanda, dan India. Tetapi Panglima Sekutu, Jenderal Christison, tak suka jumlah korban pembunuhan massal yang dibesar-besarkan.


Menurutnya, jumlah korban tak mencapai 1.000 orang. Berapa korban di pihak Inggris juga tidak diberitakan. Korban-korban itu dirawat di rumah sakit yang tersebar di seantero Surabaya.


Kenyataan inilah yang kemudian memunculkan semangat warga Tionghoa untuk terjun ke kancah pertempuran. Misalnya saja Baris an Palang Merah Tionghoa di Surabaya. Mereka dengan giat memberikan bantuan kepada para korban.


Tidak hanya membantu korban-korban dari masyarakat Tionghoa, tetapi dari seluruh suku bangsa. Pada mobil Palang Merah berkibar bendera Chungking dan bendera Sang Merah Putih.


Sementara dari Malang diberangkatkan Angkatan Muda Tionghoa (AMT) dan Palang Biru. AMT didirikan untuk mendukung kemerdekaan RI. Pemberangkatan tersebut, mengacu pada Siauw Giok Tjhan penulis buku Renungan Seorang Patriot Indonesia, atas persetujuan Dokter Imam pimpinan RS Militer di Malang dan wakilnya Dokter Sumarno.


Baik AMT maupun Palang Biru mendapat tugas memasok uang tebusan bagi para pemuda yang bertempur di garis depan. Mereka beroperasi hingga kawasan Jembatan Merah dalam Pertempuran Surabaya.


Anggota Palang Biru juga menyampaikan korban Pertempuran Surabaya ke garis belakang di Mojokerto yang dikuasai seluruh Republik Indonesia. Mereka juga dipercaya mengatur pemberangkatan kereta api Palang Merah yang berangkat dari Stasiun Gubeng, Surabaya.


Dalam satu peristiwa, kereta api yang sudah diberi tanda Palang Merah di atapnya itu ditembaki (pemberondongan) pesawat tempur Inggris. Siauw Giok Tjhan mencatat beberapa pemuda Tionghoa kemudian mendapat "Bintang Gerilya" karena peran lebih lanjut dalam menghadapi Agresi I dan II dalam Perang Kemerdekaan di Malang Raya.


Beberapa pemuda Tionghoa Malang juga bergabung langsung dalam Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) pimpinan Bung Tomo. Beberapa di antaranya adalah Giam Hian Tjong dan Auwyang Tjoe Tek. Nama terakhir adalah ahli piroteknik (ahli amunisi dan peledak) yang didapatnya saat ikut bergabung di Tiongkok melawan Jepang.


Ada lagi pemain sepakbola The Djoe Eng yang bergabung dalam Laskar Merah, sementara beberapa pemuda Tionghoa asal Minahasa bergabung dalam Kesatuan Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS).

(***)