Jenderal Besar AH Nasution

Pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi sejarah Indonesia. Banyak orang yang menganggap Jenderal Besar AH Nasution memiliki kekuatan, pengaruh, dan legitimasi moral untuk mengambil alih kepemimpinan nasional.


Namun kenyataannya, sejarah mengambil jalur yang berbeda. Untuk memahami penjelasannya, kita harus melihat perjalanan bangsa ini, termasuk situasi genting yang lahir sejak masa penjajahan Belanda hingga tragedi politik tahun 1965.


Belanda datang pertama kali ke Nusantara bukan hanya untuk berdagang, tetapi kemudian menjadikan wilayah ini koloni selama berabad-abad. Penindasan, perampasan tanah, dan eksploitasi terjadi secara sistematis. inilah lahirnya generasi pemimpin dan pemimpin yang memandang keadaan kekuasaan bukan sebagai tujuan pribadi, melainkan sebagai amanat rakyat.


Dari latar perjuangan panjang inilah tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, dan kemudian AH Nasution ditempa. Latar belakang sejarah inilah yang membentuk cara memandang Nasution terhadap kekuasaan: kekuasaan bukan untuk diraih, tetapi untuk dijaga agar tidak disalahgunakan.


Dalam krisis pasca-G30S/PKI, posisi politik Jenderal Nasution sebenarnya sangat kuat. Ia Ketua MPRS, dihormati oleh TNI, dan dianggap sebagai tokoh yang tetap teguh pada konstitusi. Namun kekuatan itu bukan berarti ia ingin mengambil alih negara.


Nasution adalah tipe pemimpin yang menjunjung moral dan aturan. Ia merasa bahwa pemimpin harus naik melalui mekanisme yang sah, bukan melalui kudeta atau perebutan kekuasaan.


Ketika situasi politik memanas dan dukungan terhadap Soekarno melemah, Nasution justru lebih memilih menjaga stabilitas daripada memanfaatkan keadaan.


Di dalam dirinya, pengalaman pahit masa kolonial dan perjuangan kemerdekaan membentuk prinsip kuat: bangsa ini tidak boleh lagi jatuh ke tangan ambisi pribadi yang merusak. Indonesia harus dijaga melalui sistem, bukan kekuatan senjata.


Nasution juga memahami bahwa TNI, pada masa itu, berada dalam posisi yang sangat sensitif. Mengambil alih kekuasaan berarti membuka luka baru, memecah angkatan bersenjata, dan merusak kembali masa depan bangsa yang baru pulih dari tragedi.


Sikapnya adalah sikap seorang negarawan, bukan politikus yang haus jabatan. Ia memilih untuk tetap mengutamakan TNI daripada mengubah Indonesia menjadi negara militer.


Faktor lain yang menentukan adalah munculnya Soeharto sebagai tokoh yang dilindungi secara operasional oleh sebagian besar struktur militer. Nasution menyadari bahwa realitas politik telah berubah.


Jika ia memaksa mengambil alih kekuasaan, konflik internal akan semakin besar. Ia sangat mengerti bahwa pemimpin besar bukan hanya tentang kemampuan merebut kekuasaan, tetapi kapan harus menahan diri demi mencegah pecahnya bangsa.


Dalam proses pengambilan keputusan MPRS yang kemudian menghentikan anggota Soekarno, Nasution berperan sebagai penjaga konstitusi. Ia memastikan proses tetap melalui jalur hukum, bukan kekerasan.


Dan ketika Soeharto kemudian ditetapkan sebagai pejabat presiden, Nasution berselingkuh dengan lapangan dada — bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena ia memegang keyakinan teguh bahwa kekuasaan terbaik adalah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, bukan direbut melalui kekuatan.


Inilah makna besar dari sikap AH Nasution: terkadang seorang pemimpin sejati bukan diukur dari seberapa besar kekuasaan yang ia ambil, tetapi seberapa besar kekuasaan yang ia mampu hindari demi menyelamatkan bangsanya.


Dalam keheningan itu, ia menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan kestabilan, bukan ambisi pribadi; membutuhkan kebijaksanaan, bukan perebutan takhta.


Hari ini, kita belajar bahwa integritas sejati tidak selalu tampil dalam bentuk kemenangan politik, melainkan dalam kemampuan menjaga bangsa ketika godaan kekuasaan mengintai dari segala arah.


Ikuti Bicara Bebas — ruang untuk memahami sejarah, memperluas wawasan, dan berdiskusi dengan pikiran jernih.


? Dukung konten seperti ini dengan memberi bintang — satu bintang darimu sangat berarti untuk menelusuri ruang diskusi bebas dan berkualitas! ??

(***)