Legenda dae la Minga
Di Kerajaan Sanggar, hidup seorang putri cantik. Namanya Dae La Minga. Aura kecantikannya tergambar dari julukannya “Oha ra ngaha ninu oi nono“, maksudnya tenggorokannya bening, sehingga makanan dan minuman yang ditelan terlihat dengan jelas. Tiap hari sang putri mandi di Sori Sabu atau Sungai Sabu dekat istana. Rupanya kesempatan sang putri pergi mandi dimanfaatkan oleh banyak pangeran yang berebut ingin melihatnya. Sampai suatu ketika muncul tragedi, perkelahian antar pangeran yang berusaha menatap wajah sang putri. Salah satu pangeran terbunuh.
Putri sangat terpukul. Oleh orang tuanya, dia disembunyikan di lumbung padi, untuk menghindari fitnah. Rupanya perang tanding antar pangeran berlanjut. Mereka bahkan membuat kesepakatan, siapa yang menang akan menikahi sang putri. Sampai ada satu pangeran yang keluar sebagai juara duel Sori Sabu. Dia datang menemui putri dan melamarnya. Raja dan permaisuri menerima pemuda itu dengan baik namun belum mengabulkan niatnya. Di saat bersamaan, berdatangan pula pangeran dari seberang untuk melamar.
Raja cukup sulit memecahkan persoalan tersebut. Jika salah mengambil keputusan, bisa berujung pada peperangan antar kerajaan, yang mengakibatkan Kerajaan Sanggar hancur. Raja bermusyawarah dengan para pembesar istana. Pilihannya ternyata amat tragis, Dae La Minga harus dibuang ke temapt yang tinggi dan sangat jauh yakni Moti Lahalo, sebuah danau di bekas letusan Gunung Tambora.
Mengetahui itu sang putri hanya pasrah. Dia berkata, “Demi kehormatan Kerajaan Sanggar, saya siap mengorbankan diri”. Mendengar tekad sang putri seluruh rakyat menangis haru. Ketika tiba waktunya, sang putri diantar ke tempat pembuangan, ribuan rakyat mengiringinya dengan tarian dan nyanyian perpisahan Inde Ndua, yang mendayu-dayu. Putri diusung bersama raja dan permaisuri ke puncak Tambora.
Mereka tiba tengah hari di Pantai Lahalo. Dae La Minga berdiri di atas batu bersusun tujuh. Dia memakai baju warna merah ungu. Sang putri mengucapkan kata-kata perpisahan, “E e e … samenana dou kore, tahompara nahu mandake di ru’u, ai walina nggomi doho, gaga wa’a sara’a ba nahu. Boha si gagamu ambi wati wali, boha si ambimu ntika wati wali ro nenti kaciapu nggahi ra eli salama ake edera tua tengi ma tengi sara“. Wahai seluruh rakyatku, biarlah aku yang mengalami nasib seperti ini, jangan lagi dialami oleh kalian. Kecantikan akan aku bawa semua, seandainya kalian itu cantik tapi tidak kelihatan anggun, seandainya kalian anggun tapi tidak kelihatan cantik. Semuanya itu, biarlah aku yang bawa dan berpegang teguhlah pada kata hikmah dan falsafah yang sudah memasyarakat yakni norma yang baik adalah titah orang tua.
Usai mengucapkan kata-kata tersebut, sang putri bersujud di hadapan orang tuanya. Putri lalu menuju peti yang disediakan dan masuk ke dalamnya. Terdengar tangis memilukan sang putri saat peti ditutup dan perlahan dihanyutkan ke Moti Lahalo. Peti itu terus menjauh dan sayup-sayup tangis putri perlahan menghilang. Sampai akhirnya peti tak tampak di kejauhan. Raja dan permaisuri pun kembali ke istana.
Orang sanggar zaman dulu percaya Dae La Minga masih hidup secara gaib dalam satu kerajaan di puncak Tambora. Dia kerap muncul di saat-saat tertentu dan hanya bisa dilihat oleh orang-orang yang beruntung. Orang tersebut akan bisa menikmati kehidupan di lingkungan kerajaan Dae La Minga satu sampai tujuh hari.