Wanita Tua Itu, Adalah Mertuaku
“Maaf, Ibu Zainab jangan ambil satenya.” Aku langsung tertegun ikut saat salah satu penjaga prasmanan melarang Ibu mertuaku mengambil makanan tersebut.
"Loh, memangnya kenapa?" tanyaku spontan saat tengah berdiri di belakang Ibu.
"Olahan daging khusus untuk tamu VIP," jawabnya mengernyitkan kening.
"Lho? Memangnya ada tamu VIP juga? Kalau ada, kenapa makanannya nggak dipisah?" tanyaku lagi benar-benar heran.
"I-itu... em-"
"Duh, lama banget sih! Maju, dong! Udah di antri di belakang, nih!" oceh seseorang dari belakang sana.
"Sudah, Neng. Nggak apa. Ayo." Ibu mertuaku mengalah, memilih untuk tidak mengambil sate bahkan melanjutkan langkah tanpa menambahkan menu lain ke atas piringnya.
“Memangnya beneran ada tamu VIP segala, Bu?” tanyaku saat kami sudah mendapatkan tempat duduk.
Ibu mertuaku hanya tersenyum, dia tak menjawab, baru memulai makan dengan menu seadanya.
Aku sendiri malah hilang selera, apa lagi melihat piring Ibu mertuaku yang hanya mendekorasi nasi dengan kentang balado dan capcai saja.
Namun terpaksa aku ikut makan walaupun tak mampu menghabiskannya karena telanjur d0ngkol dengan perlakuan anggota dari si empunya hajat.
Aku memang penduduk baru di sini, setelah satu bulan menikah dengan Mas Ridho, aku langsung ikut pindah ke kampung halamannya.
Setelah selesai makan, aku pun langsung mengajak Ibu pulang.
"Ckck, bisa-bisanya mau ambil sate. Paling isi amplopnya dua ribu," celetuk salah seorang perempuan yang usianya mungkin sepantar dengan Ibu mertuaku.
Langkahku refleks terhenti, karena merasa k3sal, aku hendak mendekatinya. Namun Ibu mertuaku lebih dulu menarik lengan ini.
"Ayo, Neng."
Aku hanya bisa menahan nafas, lalu lagi sambil menahan geram.
***
“Ada apa di depan, Bu? Kok Ibu-ibu di kumpul?” tanyaku bingung melihat gerombolan wanita berdaster di depan rumah Bi Nuni.
"Paling lagi pada pilih baju, Neng." Ibu menyyahut sambil menyiram bunga, sedangkan aku masih memegangi gagang sapu sambil melihat ke depan sana.
"Baju? Ada yang dagang baju, begitu?"
"Iya, Neng. Setiap hari Kamis dan Sabtu, suka ada Teh Didoh jual baju ke kampung ini."
“Kenapa Ibu nggak ikut lihat, atuh?” tanyaku.
"Ah, nggak, Neng." Ibu menjawab enteng.
Refleks mataku melihat daster yang dikenakan Ibu. Warnanya sudah pudar, bahkan bagian bawahnya sudah bolong walaupun tidak terlalu b3sar.
"Ayo, Bu." Setelah meletakkan sapu begitu saja, saya langsung menggandeng tangan Ibu.
“Ke mana, Neng?” tanyanya tampak bingung.
"Lihat bajunya, Bu. Kita beli baru ya."
Ibu menolak, tapi aku tetap memaksanya, alhasil wanita super baik ini pun menyerah.
Benar saja, ternyata para ibu rumah tangga tengah sibuk memilih beberapa pakaian yang masih terbungkus plastik.
“Ayo dipilih, Bu.” Aku memberi perintah lagi, Ibu yang awalnya ragu akhirnya menjulurkan tangan, meraih sebuah plastik berisi baju mirip daster.
Namun tiba-tiba penjualnya menarik benda tersebut dari tangan Ibu.
"Maaf, kalau nggak mau 8eli jangan dikeluarin bajunya. Suka ribet ngerapiinnya lagi," ucapnya ketus.
"Iya sih. Bener. Kasihan Teh Didoh kalau pakaiannya diacak-acak tapi nggak dib3.li."
"Ember...kalau kayak aku sih terserah ya Teh, soalnya tiap ke sini pasti bajunya selalu dibeli," timpal wanita yang kemarin me1edek Ibu di acara hajatan.
"Siapa bilang Ibu saya mau lihat aja?" ucapku memberanikan diri untuk mengatakan demikian.
"Biasanya juga kan begitu, Neng. Mertuamu cuma lihat-lihat saja, tapi nggak jadi b3.li."
Aku tak menjawab, namun dengan segera mengambil domp3t yang kebetulan berada di dalam saku daster.
"Nih! Saya bor0.ng semuanya!" ucapku sambil menjatuhkan sepuluh lembar ua#g seratus r1bu ke atas ubin teras milik Bi Nuni.
Semua orang langsung menyukainya, sedangkan aku langsung meraup semua daster yang masih terbungkus plastik.
“Ayo pulang, Bu!” ajakku sambil tersenyum penuh kemenangan.
Judul : Mertuaku M¡sk¡n
Penulis : Azu Ra
Nama Pengguna KBM : Aazuuraa
(***)