PENDIRI KARATE SHOTOKAN



Gichin Funakoshi adalah seorang tokoh legendaris yang dikenal sebagai "Bapak Karate Modern." Lahir pada tahun 1868 di Okinawa, Jepang, Funakoshi adalah pelopor yang memperkenalkan dan menyebarkan luaskan seni bela diri Karate dari Okinawa ke daratan Jepang dan kemudian ke seluruh dunia. Melalui dedikasinya, ia tidak hanya mengembangkan teknik Karate, tetapi juga menekankan pentingnya filosofi dan etika dalam berlatih seni bela diri.


Funakoshi lahir di Okinawa, pusat perkembangan seni bela diri Ryukyu pada masa itu. Dari usia muda, ia lemah secara fisik dan sering sakit-sakitan, sehingga keluarganya memutuskan untuk mendorongnya berlatih seni bela diri untuk memperkuat tubuhnya. Ia mulai belajar Karate di bawah bimbingan dua guru besar Okinawa: Anko Azato dan Anko Itosu. Guru kedua ini tidak hanya mengajarkan teknik bertarung kepada Funakoshi, tetapi juga menanamkan dalam dirinya nilai-nilai disiplin, kehormatan, dan moral yang kuat.


Pada awal abad ke-20, Okinawa masih merupakan bagian dari Kerajaan Ryukyu yang relatif dilindungi dari daratan Jepang. Seni bela diri Okinawa seperti Karate dikenal dengan nama "Toudi" yang berarti "Tangan Cina." Funakoshi menyadari bahwa jika Karate ingin diterima di seluruh Jepang, seni bela diri ini harus disesuaikan dan disesuaikan dengan nilai-nilai budaya Jepang. Pada tahun 1922, Funakoshi mendapat kesempatan untuk memperkenalkan Karate di Tokyo pada sebuah acara yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Jepang. Penampilannya mendapat berbagai macam hal yang luar biasa, dan dia memutuskan untuk menetap di Jepang guna menyebarkan Karate.


Pada tahun 1936, Funakoshi mendirikan dojo pertamanya di Tokyo, yang dikenal sebagai Shotokan, yang berasal dari nama penanya "Shoto" (gelombang pinus) dan "kan" (tempat latihan). Shotokan Karate menggabungkan kecepatan, kekuatan, dan teknik dasar yang efisien, serta mendorong latihan ketat untuk mencapai penguasaan teknik. Namun, bagi Funakoshi, Karate lebih dari sekedar pertarungan fisik; ia mengajarkan bahwa Karate adalah sebuah cara hidup yang menuntut pengembangan mental dan spiritual.


Prinsip utama dari Shotokan Karate adalah "Karate ni sente nashi" atau "Tidak ada serangan pertama dalam Karate." Filosofi ini menekankan bahwa Karate bukanlah tentang agresi atau menyerang orang lain, tetapi tentang pertahanan diri, pengendalian diri, dan pembinaan karakter. Funakoshi percaya bahwa latihan Karate yang sesungguhnya adalah untuk memperbaiki diri sendiri dan menjadi manusia yang lebih baik, bukan untuk menunjukkan kekuatan atau mengalahkan lawan.


20 Prinsip Karate-Do dan Filosofi Kehidupan


Gichin Funakoshi merumuskan "20 Prinsip Karate-Do," yang juga dikenal sebagai "Niju Kun," sebagai pedoman hidup bagi setiap praktisi Karate. Prinsip-prinsip ini menekankan pentingnya kerendahan hati, pengendalian diri, dan upaya terus-menerus untuk perbaikan diri. Beberapa prinsip penting yang dirumuskannya antara lain:


1. Karate dimulai dan diakhiri dengan sopan santun. Menghormati guru, sesama murid, dan lawan adalah inti dari Karate.

2. Di Karate, tidak ada jalan pintas. Setiap orang harus berlatih dengan rajin dan sabar untuk mencapai penguasaan.

3. Selalu berpikiran terbuka dan fleksibel. Karateka (praktisi Karate) harus siap menghadapi tantangan dan perubahan dalam segala situasi.

4. Bersikaplah rendah hati dan percaya diri. Karate bukan tentang pamer atau menunjukkan kekuatan, tetapi tentang mengetahui diri sendiri dan kemampuan kita.


Funakoshi tidak hanya mengembangkan teknik dan prinsip Karate, tetapi juga mengintegrasikan nilai-nilai filosofis yang menjadikan Karate sebagai disiplin mental dan spiritual. Karya tulisnya, seperti "Karate-Do Kyohan" dan "Karate-Do: My Way of Life," telah menjadi teks klasik yang banyak dibaca oleh praktisi seni bela diri di seluruh dunia. Dalam karya-karyanya, Funakoshi menekankan bahwa Karate adalah seni bela diri yang penuh dengan nilai-nilai moral yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.


Funakoshi juga berperan penting dalam memodernisasi Karate, mengubah istilah-istilah dari bahasa China ke Jepang dan memperkenalkan penggunaan sabuk berwarna untuk menunjukkan tingkat keahlian seorang murid. Ia menyampaikan dan menyusun ulang banyak kata (pola gerakan) untuk membuatnya lebih mudah dipelajari dan diingat.


(***)