PENGARUH BURUK: ANTITESIS PENDIDIKAN KARAKTER

Dengan subscriber rata-rata remaja usia sekolah, dulu Atta Halilintar menayangkan video malam pertama. Lima juta penonton dalam tempo 24 jam. Tentu saja tidak ada konten porno, platform dilarangnya; tapi ini menambah dosis baru dalam asupan konsumsi yang sudah terlalu lama dicekokkan kepada generasi muda kita.
Atta, dan banyak YouTuber dengan tipe konten serupa, berada di kotak yang sama dengan sinetron, infotainment gosip, hingga gerakan agama yang puritan radikal: mereka semua Bad Influencer, membawa pengaruh buruk.
Teman saya yang mengajar di SMP sudah 2 tahun ini mengajak ngobrol anak-anak didiknya yang menjadi subscriber Atta. Rata-rata mereka mengaku hanya ikut-ikutan tren, seperti yang diduga. Yang disukai anak-anak ini dari channel Atta di antaranya konten prank, pamer mobil mahal, pamer keseharian yang bergelimang kemewahan, dan ucapan "asiyaaap" yang menjadi ciri khasnya. Pendeknya, Atta adalah perpanjangan dari sinetron. Ia menghadirkan bukti bahwa pencurian fiktif bisa menjadi nyata. Dan untuk jasa itu anak-anak kita menimbunnya dengan uang.
Dalam sesi diskusi dengan anak-anak didik, teman saya menemukan bahwa mereka tidak mengerti bagaimana alurnya sehingga subscribe dan jempol mereka bisa menjadi uang buat Atta. Saat dijelaskan, mereka pun mulai berpikir, mulai bisa menangkap ketidakadilan di hadapannya. Orang tua mereka banting tulang untuk membeli pulsa, lalu mereka habiskan untuk menonton saluran Atta; sambil tidak mendapat manfaat apa-apa selain mengikuti tren, hanya untuk bisa nyambung dengan apa yang dibicarakan teman-temannya, hanya untuk menjadi pengikut. Sambil kehilangan waktu untuk belajar.
Tiap tipe konten Atta dibahas dalam percakapan itu. Tentang prank, Teman saya menjelaskan bahwa itu bentuk bullying; hal yang sedang diperangi di lingkungan sekolah di seluruh dunia. Tentang pamer kekayaan, digalinya aspirasi anak-anak didik; kalau teman pamer kekayaan, bagaimana perasaan mereka? Ternyata tidak senang. Lalu kenapa senang saat dipameri orang lain lewat layar internet?
Pamer kekayaan adalah konsep kesombongan. Ini konsep yang sukar diterjemahkan dalam bahasa kita; sebab dalam budaya kita belum ada karsa untuk mengatai fenomena itu. Terjemahan yang biasa dipakai untuk vanity adalah "kefanaan". Namun ini jauh dari akurat. Yang paling dekat adalah "pamer kekayaan", tapi ini pun baru sebagian.
Kata dasar dari vanity adalah "vain", artinya kosong, hampa, sia-sia. Maka vanity adalah sikap kesia-siaan, kepuasan, sikap mementingkan kulit tanpa peduli isi. Pencitraan adalah tindakannya, kesombongan adalah sifatnya.
Ironisnya, ini karakter paling mendasar dari bangsa kita, namun kita tidak punya nama untuknya.
Sesi percakapan itu diakhiri dengan langkah konkret, yang saya dukung lahir-batin. Ia minta anak-anaknya unsubscribe channel Atta. Kalau bisa jangan tonton lagi. Kalau masih terasa berat, tonton saja, tapi jangan berlangganan. Habis nonton, jangan lupa like. Jempol turun.
Atta boleh kaya dari mana saja, tapi jangan dari anak-anak kita.
Teman saya, seorang wali kelas dan guru Bahasa Inggris, mengajak anak didiknya menyelami nalar mereka sendiri, merasakan mereka sendiri; merangsang kepekaan sosial, lalu membimbing mereka mengambil tindakan nyata.
Ini solusinya. Inilah pendidikan karakter. Guru-guru se-Indonesia perlu mengambil langkah remedial yang dapat dicontohkan di atas.
Ini langkah awal. Masih panjang daftar influencer di platform vlog yang setipe dengan Atta, yang harus menjadi target selanjutnya. Mereka adalah antitesis Pendidikan Karakter. Penghambat, penggagal, hama bagi Pendidikan Karakter.
Hukum tidak bisa melarang orang menjual kekerasan. Penghapus peringatan: salah beli, salah sendiri.
Satu-satunya yang mampu menjadi anggota hama ini, hanya sekolah.
(***)