Ketika Anak Melupakan Akar



Di sebuah desa kecil yang tenang, hiduplah sepasang suami istri bernama Pak Samin dan Bu Lastri. Mereka hidup sederhana, mengandalkan hasil kebun dan sedikit ternak ayam untuk menyambung hidup. Anak tunggal mereka, Rendi, adalah kebanggaan mereka.


Sejak kecil, Rendi rajin belajar. Pak Samin rela bekerja siang malam demi biaya sekolah anaknya. Bu Lastri pun sering menahan lapar demi memastikan Rendi bisa makan dengan baik.


Hingga tibalah hari itu—Rendi berhasil lulus kuliah di kota besar dan mendapatkan pekerjaan bergengsi.


Bu Lastri: (tersenyum sambil menatap foto Rendi yang terpajang di dinding rumah bambu mereka)

"Pak… anak kita sekarang sudah sukses. Semua jerih payah kita dulu terbayar sudah."


Pak Samin: (mengangguk pelan, namun matanya berkaca-kaca)

"Iya, Bu. Meski hidup kita masih begini-begini saja… yang penting anak kita bisa lebih baik dari kita."


Bu Lastri: "Tapi, Pak… sudah hampir tiga bulan Rendi tidak pulang. Telepon pun jarang sekali ia angkat."


Pak Samin: (menarik napas panjang)

"Mungkin sibuk, Bu. Namanya juga kerja di kota besar. Kita harus sabar."


Hari demi hari, mereka hanya menunggu kabar. Telepon dari Rendi semakin jarang. Sampai suatu malam, Bu Lastri memberanikan diri menelepon.


Bu Lastri: "Halo, Nak? Ini Ibu… gimana kabarmu di sana?"


Rendi: (suara agak dingin, terdengar terburu-buru)

"Iya, Bu… baik. Maaf ya, saya lagi sibuk banget. Ada rapat. Nanti aja kalau sempat telepon balik."


Bu Lastri: (suara bergetar)

"Iya, Nak… jaga kesehatanmu ya. Jangan lupa makan."


Rendi: "Iya, iya Bu. Saya tutup dulu ya." tut…


Bu Lastri menatap layar ponselnya yang sudah gelap. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.


Pak Samin: (mengusap bahu istrinya)

"Sudahlah, Bu. Jangan bersedih. Mungkin memang waktunya belum sempat. Kita doakan saja."


Malam itu, di rumah kecil yang hanya diterangi lampu minyak, doa mereka kembali terucap lirih. Mereka berdoa agar anak semata wayang yang dulu mereka besarkan dengan penuh cinta, tidak benar-benar melupakan mereka.


Namun, jauh di kota sana, Rendi semakin larut dalam dunia gemerlapnya. Ia mulai merasa malu dengan asal-usulnya yang sederhana, bahkan jarang menyebutkan bahwa orang tuanya hanyalah petani desa.


Hari-hari terus berlalu. Rendi semakin jarang memberi kabar. Di desa, Pak Samin dan Bu Lastri hanya bisa mendengar cerita tentang kesuksesan anak mereka dari tetangga yang kebetulan melihat berita di media sosial.


Hati Bu Lastri kian rindu. Ia ingin sekali melihat wajah anaknya, walau sebentar. Akhirnya, ia mengusulkan pada suaminya.


Bu Lastri: (pelan)

"Pak… gimana kalau kita ke kota? Sudah lama kita nggak lihat Rendi. Ibu kangen sekali."


Pak Samin: (diam sebentar, menatap wajah istrinya yang penuh harap)

"Iya, Bu… tapi apa Rendi nggak merasa terganggu kalau kita datang tiba-tiba?"


Bu Lastri: (menghela napas)

"Kita orang tuanya, Pak. Apa salahnya rindu anak sendiri?"


Pak Samin hanya mengangguk. Mereka pun berangkat dengan menumpang bus tua, membawa bekal sederhana: nasi bungkus, pisang hasil kebun, dan sekarung kecil singkong rebus—makanan kesukaan Rendi dulu.


Sesampainya di kota, mereka berdiri canggung di depan apartemen mewah tempat Rendi tinggal. Gedung tinggi itu terasa asing, pintu masuknya dijaga satpam.


Satpam: "Bapak, Ibu, mau ke siapa?"


Pak Samin: "Kami… mau ketemu anak kami, namanya Rendi. Dia tinggal di sini."


Satpam itu memandang mereka dari ujung kepala hingga kaki, melihat pakaian sederhana dan tas kain lusuh yang mereka bawa. Ia sempat ragu, tapi akhirnya menelepon ke atas.


Tak lama, Rendi muncul. Ia mengenakan jas rapi, wajahnya bersih, dan terlihat jauh berbeda dengan kedua orang tuanya.


Bu Lastri: (tersenyum bahagia, matanya berkaca-kaca)

"Rendi… Nak…"


Ia langsung ingin memeluk putranya, tapi Rendi menahan tubuh ibunya dengan tangannya.


Rendi: (datar, suara rendah)

"Ibu, Bapak… ngapain datang ke sini tanpa kasih kabar dulu?"


Pak Samin: (terkejut, berusaha tersenyum)

"Kami… cuma kangen, Nak. Nggak apa-apa kan kalau orang tua kangen anaknya?"


Rendi: (melirik kanan kiri, khawatir ada orang melihat)

"Tapi cara begini bikin saya malu, Pak, Bu. Lain kali telepon dulu. Saya sibuk, ada banyak urusan."


Bu Lastri: (berusaha menahan air mata, lalu mengangkat bungkusan kain berisi singkong rebus)

"Ibu bawa singkong kesukaanmu, Nak. Sama pisang dari kebun… siapa tahu kamu kangen makan itu."


Rendi menatap bungkusan itu dengan wajah dingin.


Rendi: "Bu… makanan kayak gini nggak pantas. Saya di sini nggak makan beginian lagi."


Bu Lastri terdiam. Tangannya gemetar memegang bungkusan itu.


Pak Samin: (suara parau, tapi mencoba tegar)

"Sudahlah, Bu. Mari kita pulang. Jangan ganggu anak kita."


Rendi: (menarik napas panjang, berusaha tersenyum hambar)

"Iya… maaf, Bu, Pak. Nanti kalau saya sempat, saya pulang. Sekarang saya bener-bener sibuk."


Mereka berdua pun melangkah pergi dengan langkah gontai. Bu Lastri menunduk, memeluk bungkusan singkong itu erat-erat. Air matanya jatuh membasahi kain lusuh.


Bu Lastri: (lirih)

"Pak… anak yang kita besarkan dengan susah payah… sekarang bahkan malu makan singkong rebus buatan kita."


Pak Samin: (menghela napas, menahan tangisnya)

"Biarlah, Bu. Mungkin suatu saat Rendi sadar… bahwa akar yang ia tinggalkan adalah kita."


Di apartemennya, Rendi duduk termenung setelah orang tuanya pergi. Ada sedikit rasa bersalah yang menyelinap, tapi ia menepisnya dengan berkata dalam hati:


"Aku harus jaga nama baikku di sini. Aku nggak boleh kelihatan kampungan."


Namun, ia tak sadar, di desa sana doa kedua orang tuanya masih terus dipanjatkan, meski hati mereka hancur..


(***)