1998 Indonesia Dilanda Krisis

Awal tahun 1998 Indonesia berada dalam krisis yang begitu dalam. Nilai rupiah jatuh, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, dan banyak perusahaan gulung tikar. Rakyat kehilangan pekerjaan, sementara pemerintah terlihat tidak mampu memberikan solusi. Di tengah kondisi itu, mahasiswa di berbagai kota mulai turun ke jalan, menuntut perubahan besar dan menolak kepemimpinan Soeharto yang sudah lebih dari tiga dekade berkuasa.
Pada tanggal 12 Mei 1998, ribuan mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta menggelar aksi damai. Mereka menuntut reformasi, berharap suara mereka didengar. Namun, aparat yang tiba-tiba melepaskan tembakan. Empat siswa gugur hari itu. Kematian mereka memicu gelombang kemarahan di seluruh negeri.
Keesokan harinya, Jakarta dan beberapa kota besar meledak di dalamnya. Jalanan dipenuhi massa yang marah. Toko-toko dijarah, gedung-gedung terbakar, mobil-mobil hancur. Api membumbung tinggi di banyak sudut kota. Di dalam gedung yang terbakar, ratusan orang terjebak dan kehilangan nyawa. Di tengah kekacauan itu, muncul pula laporan mengerikan tentang kekerasan seksual terhadap perempuan, terutama dari etnis Tionghoa. Peristiwa ini meninggalkan luka yang mendalam, bahkan hingga bertahun-tahun kemudian.
Di luar Jakarta, situasi tak kalah mencekam. Di Medan, Solo, dan beberapa kota lain, dipaksakan juga pecah. Warga keturunan Tionghoa menjadi sasaran, banyak yang akhirnya memilih meninggalkan Indonesia karena rasa takut dan trauma yang begitu besar.
Sementara itu, gelombang siswa terus membesar. Mereka menduduki gedung DPR/MPR, menolak pulang hingga tuntutan mereka dipenuhi. Suara rakyat makin bulat: Soeharto harus turun.
Akhirnya, pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto menyatakan pengunduran dirinya. Setelah 32 tahun berkuasa, ia menyerahkan jabatannya kepada BJ Habibie. Momen itu menandai berakhirnya era Orde Baru dan lahirnya era Reformasi.
Namun, meski rezim berganti, luka sosial yang ditinggalkan Tragedi 1998
(***)