DUA SISI KOIN YOGYAKARTA: DARI SENTIMEN ANTI-TIONGHOA DIPONEGORO HINGGA LAHIRNYA PAKUALAMAN

 - Oleh: Kusuma Wiratama, 30 September 2025.


Hubungan antara Pangeran Diponegoro dengan etnis Tionghoa, yang berpuncak pada pecahnya Perang Jawa (1825–1830), merupakan cerminan kisah politik mendalam di Kesultanan Yogyakarta. Ironisnya, di tengah sentimen anti-kolonial yang kuat, seorang Tionghoa bernama Tan Jin Sing justru memegang peran kunci dalam otoritas kekuasaan keraton, sementara perpecahan ini melahirkan entitas baru yang hingga kini menjadi pilar keistimewaan Yogyakarta: Kadipaten Pakualaman.


Keraton Yogyakarta di era Sultan Hamengkubuwono II digempur oleh dua rejim secara kolonial berturut-turut: Daendels Belanda dan Raffles Inggris.


MELAWAN DAENDELS


Pada bulan Desember 1810, Daendels menduduki Yogyakarta, melengserkan Sultan HB II dari takhtanya. Daendels kemudian mengangkat HB II, Raden Mas Surojo, sebagai putra penggantinya, bergelar Sultan HB III. Pangeran Diponegoro (Bendara Raden Mas Antawirya) adalah anak tertua dari Sultan HB III ini.


Konflik terbuka antara Keraton Yogya dan Daendels berawal dari pemberontakan Bupati Wedana Madiun Raden Ronggo Prawirodirjo III (menantu Sultan HB II yang menjadi mertua Pangeran Diponegoro). 


Raden Ronggo menolak perintah Daendels menyerahkan sumber daya alam, terutama kayu jati, di wilayah Madiun dalam rangka membangun Benteng dan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg) yang membentang dari Anyer di Jawa Barat hingga Panarukan di Jawa Timur.


Raden Ronggo gugur dalam pertempuran di tepi Sungai Bengawan Solo. Istri Diponegoro, Raden Ayu Maduretno, putri Raden Ronggo, meninggal dunia karena sakit tak lama setelah ayahnya meninggal.


Belakang hari Sentot Prawirodirjo (Alibasah Sentot), adik dari Raden Ayu Maduretno, bergabung dengan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa.


Undian Melawan


Perseteruan kedua terjadi dengan Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Inggris (periode 1811–1816), setelah Inggris mengambil alih kekuasaan dari Belanda.


Ketika Raffles berkuasa, HB II sempat dikembalikan ke takhta pada tahun 1811. Namun HB II menunjukkan sikap menentang regulasi Inggris dan menolak kepatuhan pada kekuasaan Raffles.


Konflik dengan Raffles ini memuncak dalam peristiwa Geger Sepoy (Geger Sepehi) pada Juni 1812, pasukan Inggris menyerbu dan menjarah Keraton Yogyakarta. Sultan HB II ditangkap, dilengserkan kembali, dan diasingkan ke Penang. 


KETERLIBATAN KAPITAN TIONGHOA


Peran Kapitan Tionghoa pada masa kolonial, khususnya di Jawa, adalah sebagai perantara administratif dan politik antara pemerintah kolonial (Belanda/Inggris) dengan komunitas etnis Tionghoa setempat.


Jabatan ini dibentuk oleh pemerintah kolonial (awalnya VOC, kemudian diteruskan oleh Belanda dan Inggris) dengan tujuan utama menyederhanakan kontrol, pengawasan, dan pengungkapan pajak dari populasi Tionghoa tanpa harus melibatkan birokrasi kolonial secara langsung.


Kapitan Tionghoa (atau Kapitein der Chinezen) bukanlah sekedar kepala adat, melainkan pejabat yang diangkat dan digaji oleh pemerintah kolonial dengan kekuasaan besar di komunitasnya. 


Kapitan Tionghoa Tan Jin Sing sudah terlibat dalam urusan politik di Kesultanan Yogyakarta sejak era Daendels, tetapi ia menjadi sangat penting pada masa Raffles.


Tan Jin Sing sudah menjabat sebagai Kapitan Cina di Yogyakarta sejak tahun 1803, setelah sebelumnya menjabat di Kedu (1793-1803). Pada posisi ini dia sudah memiliki koneksi dan terlibat dalam urusan administrasi dan perdagangan di Kesultanan. Dia juga dekat dengan ayahanda Pangeran Diponegoro: Raden Mas Surojo yang kelak menjadi Sultan HB III.


Pada era Raffles peran politik Tan Jin Sing memuncak setelah bertindak sebagai utusan rahasia Putra Mahkota Raden Mas Surojo dalam berbagai perundingan dengan pihak Inggris pada tahun 1812. Berkat dukungannya dan jasanya meyakinkan John Crawfurd (Residen Inggris), Inggris setuju untuk mengangkat Raden Mas Surojo menjadi Sultan bergelar HB III.


Setelah peristiwa Geger Sepoy (1812), Raden Mas Surojo diangkat menjadi Sultan bergelar HB III. Atas jasanya, Tan Jin Sing diangkat menjadi Bupati Nayaka (setingkat menteri) dengan gelar Kanjeng Raden Tumenggung Secodiningrat pada tahun 1813.


KENAPA RADEN MAS SUROJO BERKONFLIK DENGAN AYAHANDANYA.


Perseteruan antara Raden Mas Surojo (yang kemudian menjadi Hamengkubuwono III) dengan ayahnya, Sultan Hamengkubuwono II, dibebaskan pada konflik kekuasaan internal keraton yang diperparah oleh campur tangan kekuatan kolonial Belanda maupun Inggris.


Sejak awal sudah ada persaingan dalam keraton mengenai kesuksesan. HB II sebenarnya memiliki preferensi untuk menjadikan putra yang lain, Pangeran Mangkudiningrat, sebagai Putra Mahkota, tetapi harus tunduk pada kehendak ayahnya (Hamengkubuwono I) untuk menunjuk Raden Mas Surojo sebagai Putra Mahkota. Hal ini menciptakan dua faksi yang saling bersaing di istana.


Ketika HB II kembali bertahta pada akhir tahun 1811, dia segera membersihkan dan menghukum para bangsawan yang sebelumnya mendukung Raden Mas Surojo di masa Daendels, yang tentu saja semakin memperkuat konflik antara ayah dan anak ini.


Ringkasnya, Raden Mas Surojo, ayahanda Pangeran Diponegoro, bersekutu dengan kekuatan asing (Inggris) untuk mengamankan kekuasaannya sebagai Sultan (HB III) karena ancaman terus-menerus dari ayahnya yang keras anti-asing, Sultan HB II.


POSISI DIPONEGORO DALAM GEGER SEPEHI


Dalam peristiwa Geger Sepehi, Pangeran Diponegoro berada di posisi yang rumit. Pada akhirnya dia menunjukkan kesetiaannya kepada ayahnya (Hamengkubuwono III) yang diangkat oleh Inggris, namun juga secara pasif mendukung perlawanan terhadap kekuatan kolonial (saat itu: Raffles).


Dalam bukunya Babad Diponegoro, Pangeran Diponegoro mencatat Geger Sepehi sebagai babak pahit yang merusak martabat raja Jawa dan menguji ikatan keluarga bangsawan pewaris Mataram.


Peristiwa Sepehi ini menjadi salah satu faktor pembentuk pandangan politik dan spiritualnya yang kelak menjadi alasan utama pecahnya Perang Jawa (Perang Diponegoro) pada tahun 1825.


HUBUNGAN DIPONEGORO DENGAN TAN JIN SING


Tan Jin Sing adalah sekutu dan negosiator utama bagi Raden Mas Surojo (HB III) dalam menyelesaikan rahasia perjanjian dengan Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles dan Residen John Crawfurd. Peran sentral Tan Jin Sing adalah menjadi penerjemah dan perantara yang berhasil berjanji Inggris untuk menduduki keraton dan melengserkan HB II.


Berdasarkan Babad Diponegoro, John Crawfurd bahkan sempat menghubungi Raden Mas Surojo melalui perantaraan Pangeran Diponegoro. Ini menunjukkan bahwa Diponegoro berada di dalam lingkaran komunikasi yang aman dan berpihak kepada ayahnya, yang kemudian diangkat menjadi Sultan oleh Inggris.


Keterlibatan Diponegoro dalam komunikasi ini berarti dirinya berada di pihak yang "menang" atau yang diakui oleh Inggris, sehingga tidak berada dalam bahaya penangkapan atau kekerasan yang dialami oleh para loyalis Hamengkubuwono II. 


Oleh karena itu, Tan Jin Sing tidak secara fisik menyelamatkan Diponegoro, tetapi manuver politiknya (yang menaikkan ayah Diponegoro) secara efektif menjamin keselamatan dan posisi Diponegoro. Pangeran Diponegoro diketahui tetap menjaga hubungan baik dengannya.


Terlebih lagi, setelah Tan Jin Sing kehilangan jabatannya sebagai Bupati Nayaka pada tahun 1824, dia dilaporkan bersimpati terhadap perjuangan Pangeran Diponegoro saat Perang Jawa (1825–1830) dan berusaha menjaga kenetralan. Hubungan pribadi yang terjalin sejak awal ini memungkinkan Diponegoro dan Tan Jin Sing untuk berinteraksi di tengah pusaran politik keraton yang sangat kacau.


PANDANGAN DIPONEGORO TERHADAP PARA KAPITAN TIONGHOA DALAM KONTEKS PERANG JAWA 1825-1830


Memang di satu sisi Tan Jin Sing memiliki peran penting dalam menaikkan ayah Diponegoro (HB III) ke takhta, namun di sisi lain Diponegoro juga tidak menyukai eksistensi para Kapitan Tionghoa dalam struktur kekuasaan Keraton yang pro-kolonial.


Dalam konteks Perang Jawa yang dipimpinnya, pandangan Diponegoro terhadap etnis Tionghoa yang dilindungi para Kapitan itu menjadi sangat keras. Pasukan Diponegoro menargetkan komunitas Tionghoa di berbagai wilayah (seperti Ngawi dan daerah pesisir) karena kedekatan mereka dengan sistem kolonial, yang berfungsi sebagai rentenir, pemungut cukai, dan pemasok bagi Belanda.


Terlepas dari hubungan pribadinya dengan Tan Jing Sing, kedudukan Kapitan Tionghoa tersebut secara umum tetap menjadi representasi utama dari intervensi kolonial dan kerusakan tatanan Jawa yang ingin Diponegoro hapuskan melalui Perang Jawa.


TERBENTUKNYA KADIPATEN PAKUALAMAN


Produk lain dari Geger Sepehi adalah lahirnya Kadipaten Pakualaman. Kadipaten ini adalah bentuk balas jasa Pemerintah Britania Raya (Inggris) kepada sekutu mereka, Pangeran Notokusumo.


Pangeran Notokusumo (putra Sultan HB I) adalah paman dari Pangeran Diponegoro dan adik tiri dari Sultan HB II. Notokusumo tidak akur dengan Sultan HB II karena masalah internal. Selain itu dia juga berkonflik dengan Patih Danurejo II yang pro-Belanda sebelum Inggris mengambil alih.


Tapi di masa Thomas Stamford Raffles, Notokusumo memilih bersekutu dengan Inggris dan mendukung naiknya HB III (keponakannya) menggantikan HB II.


Notokusumo memberikan dukungan logistik dan militer kepada pasukan Inggris dan Sepoy saat mereka menyerbu dan menjarah Keraton Yogyakarta pada bulan Juni 1812.


Sebagai ketidakseimbangan atas bantuan kuncinya dalam melengserkan Sultan HB II, Inggris memberikan hadiah politik besar kepada Notokusumo.


Pada tanggal 29 Juni 1812 (secara de jure, beberapa hari setelah Keraton Yogyakarta jatuh), Pangeran Notokusumo diangkat menjadi Pangeran Merdika (pangeran yang merdeka atau otonom).


Pada tanggal 17 Maret 1813, Notokusumo secara resmi dinobatkan dengan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya (KGPAA) Paku Alam I setelah penandatanganan kontrak politik dengan Inggris.


HUBUNGAN DIPONEGORO DENGAN PAKUALAMAN DALAM KONTEKS PERANG JAWA


Pangeran Diponegoro secara aktif memerangi Kadipaten Pakualaman selama Perang Jawa (1825–1830), karena memandang Pakualaman, meskipun mendukun ayahnya naik takhta, bukan hanya sebagai representasi, tetapi sebagai sekutu militer dan politik yang nyata dari pemerintahan kolonial. 


Di mata Diponegoro dan pasukannya, Pakualaman adalah target sah. Kadipaten Pakualaman memiliki unit militer terlatihnya sendiri (Legiun Pakualaman). Unit ini tidak bersikap netral; sebaliknya, Legiun Pakualaman konsisten berperang di pihak Belanda untuk menumpas perlawanan Diponegoro.


BERSATUNYA KEMBALI KESULTANAN DAN PAKUALAMAN


Setelah seratus tahun lebih tegang, kedua kubu mulai menjanjikan-angsur harmonis di era Kebangkitan Nasional manakala dari Kadipaten Pakualaman lahirlah tokoh nasionalis Raden Mas Soerjopranoto, dan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara).


Pada puncaknya, Kesultanan dan dan Kadipaten Pakualaman bersatu kembali bukan sebagai satu entitas monarki seperti dulu melainkan sebagai bagian integral dari Republik Indonesia dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). 


Amanat 5 September 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII secara terpisah namun serempak menyatakan wilayah mereka bergabung dengan Republik Indonesia. Kedua monarki diintegrasikan sebagai Dwi Tunggal (dua menjadi satu) dalam kerangka Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sultan sebagai Gubernur (Kepala Daerah), dan Sri Paku Alam sebagai Wakil Gubernur (Wakil Kepala Daerah).


*/ Kompilasi berbagai sumber.


#sejarah_bykusumawiratama @followers @highlight