Hebat! Bocah Penggembala Kambing Ini Tembus Akmil, Melesat Jadi Jenderal Bintang 4.
Kisah hidup Jenderal TNI (Purn) Wismoyo Arismunandar adalah cerminan dari keteguhan, keberanian, dan dedikasi seorang prajurit sejati. Lahir di Bondowoso, Jawa Timur, pada 10 Februari 1940, merupakan anak bungsu dari enam bersaudara, putra pasangan R. Arismunandar dan Sri Wurjan. Meski berasal dari keluarga yang cukup berada, perjalanan hidup Wismoyo tidak semulus yang dibayangkan. Takdir menempanya dalam kerasnya perjuangan hidup di masa revolusi.
Pada tahun 1945, saat Indonesia baru merdeka dan situasi tanah air masih bergolak, keluarga Wismoyo terpaksa mengungsi selama satu setengah tahun ke tempat yang lebih aman. Di masa pengungsian itulah, bocah tujuh tahun ini menjalani kehidupan sederhana sebagai penggembala kambing. Dari padang rumput yang sunyi dan hari-hari panjang di bawah terik matahari, terbentuklah kepribadiannya yang kuat: berani, tangguh, dan bertanggung jawab.
Wismoyo kecil dikenal sebagai anak yang cengkiling istilah Jawa untuk bocah nakal, keras kepala, namun setia kawan. Ia sering berkelahi bukan karena mencari masalah, melainkan karena membela teman atau mempertahankan harga dirinya. “Kehidupan saya keras seperti kehidupan gembala kambing berkelahi dan kasar,” kenangnya dalam buku “Jenderal TNI Wismoyo Arismunandar, Sosok Prajurit Sejati” terbitan Dinas Sejarah TNI AD (2021).
Setelah menamatkan SD di Bondowoso (1953), ia melanjutkan SMP di Semarang (1954) karena keluarganya pindah ke kota itu. Di masa inilah kisah uniknya terjadi Wismoyo menjadi makelar karcis bioskop untuk menambah uang jajan. Dengan gaya tegas dan menerapkan kepemimpinan alami, ia dijuluki “komandan makelar karcis”. Tak jarang ia harus berkelahi dengan pembeli yang menawar terlalu murah. Dari sana, jiwa kepemimpinannya mulai tampak tegas, pantang mundur, dan berani mengambil risiko.
Selepas SMA Negeri 1 Semarang pada tahun 1960, orang tuanya berharap ia melanjutkan ke perguruan tinggi. Namun Wismoyo memiliki tekad bulat: menjadi tentara. Cita-cita itu tumbuh dari kekagumannya terhadap pejuang yang gagah berani dan patriotik. Apalagi pamannya adalah rekan seperjuangan Letjen Bambang Soegeng, Kepala Staf Angkatan Darat ke-3 (1952–1955).
Pada tahun yang sama, Wismoyo mendaftar ke Akademi Militer Nasional (AMN) Magelang. Semua ujian, termasuk tes jasmani yang berat, dilaluinya dengan mudah berkat fisik kuat yang terasah sejak masa kecilnya menggembala kambing. Ia lulus pada tahun 1963, memulai perjalanan panjang menuju puncak karier militer Indonesia.
Penugasan pertamanya adalah sebagai Komandan Peleton di Batalyon 3/Menparkoad, pasukan elit yang kini dikenal sebagai Kopassus. Di bawah komando Kolonel Infanteri Sarwo Edhie Wibowo, Wismoyo terjun langsung ke dalam operasi besar menumpas pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Semangat dan ketegasannya di lapangan membuatnya cepat dikenal sebagai prajurit yang berani.
Pada tahun 1966, ia dipercaya menjadi Komandan Pengawal Pribadi Presiden Soeharto (Danwalpri) sebuah posisi yang hanya diemban oleh prajurit dengan reputasi terbaik. Namun Wismoyo tetap rendah hati. Ia kembali ke satu tempur dan memimpin berbagai operasi penting, termasuk Operasi PGRS/Paraku di Kalimantan.
Di tengah belantara Kalimantan yang gelap dan penuh bahaya, Wismoyo bersama pasukannya menemukan Death Letter Box (DLB) sistem komunikasi rahasia kelompok pemberontak yang menjadi kunci pembongkaran jaringan PGRS/Paraku. Penemuan ini menjadi titik balik penting dalam operasi militer Indonesia di wilayah tersebut.
Mantan Kepala BIN, Jenderal (Purn) AM Hendropriyono, pernah mengenang peristiwa itu dengan penuh hormat:
> “Pak Wismoyo berjalan kaki ratusan kilometer di hutan lebat dalam keadaan berpuasa. Dari dialah komunikasi rahasia PGRS/Paraku berhasil dibongkar.”
Perjalanan karier Wismoyo pun kian bersinar. Ia menjabat sebagai Danjen Kopassus (1983–1986), lalu berturut-turut menjadi Kasdam IX/Udayana, Pangdam VIII/Trikora, Pangdam IV/Diponegoro, dan Pangkostrad (1990–1992). Setelah itu, ia dipercaya menjadi Wakasad (1992–1993) dan akhirnya mencapai puncak karir sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ke-17 pada periode 1993–1995.
Prinsip hidup sederhana tapi dalam:
> “Disiplin adalah napasku, kesetiaan adalah jiwaku, kehormatan adalah segala-galanya.”
Motto itu pula yang diingat dan dipegang teguh oleh para penerusnya, termasuk Prabowo Subianto, yang sangat menghormati dan meneladani kepemimpinan Wismoyo.
Purna tugas dari militer, Jenderal Wismoyo tetap mengabdi pada bangsa dengan menjadi Ketua Umum KONI Pusat. Ia wafat di Jakarta pada 28 Januari 2021, dan dimakamkan di Astana Giribangun, Karanganyar, Jawa Tengah bersebelahan dengan keluarga Presiden Soeharto, sang kakak ipar.
Dari padang gembalaan di Bondowoso hingga puncak kejayaan di Markas Besar TNI AD, perjalanan hidup Jenderal Wismoyo Arismunandar adalah kisah nyata tentang keteguhan, pengabdian, dan cinta tanah air yang tak pernah padam.
Sumber : Sindonews.com
(***)