Peris Pardede: Dari Aktivis Muda hingga Politikus PKI yang Berakhir di Tangan Mahmillub
Dalam perjalanan sejarah Indonesia yang penuh pergolakan ideologi dan darah, nama Peris Pardede mencuat sebagai salah satu tokoh penting Partai Komunis Indonesia (PKI). Lahir pada tanggal 20 Januari 1918 di Lumban Rau, Balige, Sumatera Utara, dari keluarga Batak Toba bermarga Pardede, ia tumbuh di tengah masa kolonial Hindia Belanda — masa ketika semangat kemerdekaan mulai berdenyut di dada para pemuda.
Sejak muda, Peris sudah menunjukkan semangat belajar dan kerja keras. Ia menamatkan pendidikan dasar di Christelijke HIS Narumonda pada tahun 1934, kemudian melanjutkan ke MULO Muhammadiyah Jakarta. Namun, pendidikannya terhenti di kelas dua pada tahun 1936. Dua tahun kemudian, ia bekerja sebagai beambte pandhuisdienst atau pegawai pegadaian di Cirebon dan Jakarta hingga tahun 1942.
Ketika Jepang menduduki Indonesia, arah hidupnya berubah. Ia membuka toko perhiasan di Jalan Pecenongan No. 48c, Jakarta, milik rekannya Mohammad Sain seorang simpatisan kiri. Di toko inilah, benih-benih ideologi komunis mulai tertanam. Toko tersebut bahkan menjadi alamat redaksi dan administrasi majalah PKI, Bintang Merah, yang pertama kali terbit pada 17 November 1945.
Langkah Politik Bersama PKI dan FDR
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 1945, Peris bergabung dengan Angkatan Pemuda Indonesia (API) di Mangga Dua, Jakarta. Dari perjalanan menuju Partai Komunis Indonesia terbuka lebar. Ia kemudian mengikuti jejak para pemimpin PKI yang memindahkan markas ke Yogyakarta pada tahun 1947. Di sana, Peris ditunjuk sebagai Sekretaris Front Demokrasi Rakyat (FDR) Pusat, serikat besar organisasi sayap kiri yang terdiri atas PKI, Partai Sosialis, Pesindo, SOBSI, dan BTI.
Namun, badai datang pada Peristiwa Madiun 1948. FDR menjadi dalang pemberontakan terhadap pemerintah sah Republik Indonesia. Saat banyak tokoh kiri diburu, Peris Pardede berhasil lolos dengan menyamar sebagai “Abdullah”. Dalam pengungsinya, ia bergabung dengan Komando Onder Distrik Militer (KODM) Wadaslintang, Wonosobo, sebagai kepala bagian kemasyarakatan sebuah langkah cerdas untuk bertahan hidup di tengah kekacauan politik.
Bangkitnya Kembali di Era Demokrasi Terpimpin
Tahun 1950 menjadi titik balik kebangkitannya. Setelah situasi nasional mereda, Peris kembali ke Jakarta dan turut membangun kembali struktur PKI. Ia dipercaya menjadi anggota Pengurus Comite Seksi (CS) PKI Jakarta Raya, kemudian naik menjadi Komisaris Central Comite (CC) PKI untuk Jawa Barat pada tahun 1952.
Karier politiknya terus menanjak. Pada tahun 1954, ia memimpin kembali PKI Jakarta Raya, dan pada tahun 1959 diangkat menjadi anggota Sekretariat CC PKI. Dua tahun kemudian, pada tahun 1961, Peris menduduki jabatan penting sebagai Ketua Komisi Kontrol CC PKI, lembaga internal yang mengawasi posisi disiplin, moral, dan ideologi anggota partai.
Dengan reputasinya yang tangguh dan setia, Peris dipercaya sebagai calon anggota Politbiro PKI pada Mei 1965, sebuah badan elit yang menentukan arah gerak politik partai. Pada saat itu, ia juga tercatat sebagai mahasiswa Akademi Ilmu Sosial Ali Archam, lembaga pendidikan kader PKI di Jakarta.
Namun, takdir berkata lain.
Akhir Tragis Seorang Idealis Kiri
Ketika Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) meletus, posisi Peris Pardede sebagai kader senior PKI menjadikannya target penangkapan utama. Tidak seperti pada masa Madiun 1948, kali ini ia tidak bisa meloloskan diri. Pada tanggal 29 November 1965, Peris ditangkap oleh aparat keamanan Orde Baru.
Proses panjang di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) menjatuhkan vonis berat hukuman mati. Ia menjalani sisa hidupnya sebagai tahanan politik di bawah rezim Soeharto, sebelum akhirnya meninggal dunia pada tahun 1982 di Medan, Sumatera Utara.
Peris Pardede mungkin telah lama tiada, namun kisahnya menjadi cermin dari zaman ketika idealisme dan ideologi saling berbenturan keras dalam tubuh bangsa. Ia adalah gambaran manusia yang terjebak dalam pusaran sejarah besar, di mana garis antara pejuang dan pemberontak seringkali kabur.
(***)