Tragedi Madiun 1948: Jejak Kelam Amir Syarifuddin dan Kebiadaban PKI di Tengah Bara Revolusi
Peristiwa Pemberontakan Madiun 1948 menjadi salah satu bab tergelap dalam sejarah Republik Indonesia. Di tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda, bangsa ini justru diguncang oleh pemberontakan berdarah dari dalam negeri sendiri sebuah gerakan yang dikomandoi oleh tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI), dengan Amir Syarifuddin sebagai salah satu tokoh utamanya.
Amir bukan tokoh sembarangan. Ia pernah menjabat sebagai Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Indonesia, bahkan memimpin delegasi Indonesia dalam Perundingan Renville dengan Belanda. Namun, idealismenya yang bergeser ke arah kiri membawa dirinya ke jalan penuh tragedi. Setelah Perjanjian Renville dinilai merugikan, Amir kehilangan kepercayaan masyarakat dan akhirnya mundur dari jabatannya pada tanggal 22 Januari 1948. Presiden Soekarno pun menunjuk Mohammad Hatta untuk membentuk pemerintahan baru.
Namun Amir tak tinggal diam. Ia tetap aktif bergerak bersama tokoh-tokoh Front Demokrasi Rakyat (FDR) dan Musso, tokoh senior komunis yang baru pulang dari Uni Soviet. Sejak 7 September 1948, Amir dan rombongan melakukan perjalanan politik ke berbagai daerah mulai dari Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, hingga Purwodadi. Di setiap kota, mereka berpidato membakar semangat revolusi rakyat dengan propaganda ideologi kiri.
Situasi memanas ketika Soemarsono, Ketua Komite Kongres Pemuda di Madiun, pada 18 September 1948 memimpin aksi pelucutan senjata terhadap tentara pemerintah. Dalam waktu singkat, Madiun jatuh ke tangan kelompok komunis. Pemerintahan diambil alih, dan Residen Sumadikun digantikan oleh Supardi dari FDR. Malam itu, Musso dan Amir tiba di Madiun untuk menegaskan dukungan terhadap gerakan tersebut.
Keesokan harinya, 19 September 1948, Presiden Soekarno berpidato lantang melalui Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta. Dengan nada tegas dan menggema di seluruh negeri, Bung Karno menyebut peristiwa Madiun sebagai kudeta terhadap Republik.
> “Pilih Soekarno-Hatta atau Musso dengan PKI-nya!” seru Sang Proklamator, menandai awal babak penumpasan gerakan komunis di tanah air.
PKI di bawah Musso dan Amir mencoba membalas dengan pidato tandingan. Pada tanggal 23 September 1948, Amir berupaya mencerminkan tuduhan kudeta melalui siaran Radio Madiun, mencoba menenangkan rakyat dan mendorong pemberontakan. Namun semuanya terlambat. Pemerintah pusat memerintahkan operasi militer besar-besaran untuk menumpas pemberontakan tersebut.
Akhirnya, pasukan pemerintah berhasil merebut kembali Madiun. Amir Syarifuddin, Harjono (Ketua SOBSI), dan Suripno (mantan menteri) ditangkap di Kelambu, Purwodadi, pada 30 November 1948. Mereka dibawa ke penjara Kudus, lalu ke Benteng Yogyakarta. Meski terus diperdebatkan keterlibatannya dalam perencanaan kudeta, buktinya tidak mengubah takdir.
Pada tanggal 19 Desember 1948, di tengah malam yang sunyi di Desa Ngalihan, dekat Solo, Amir Syarifuddin mengeksekusi mati bersama rekan-rekannya. Ia diarak sebagai pesakitan politik simbol kegagalan ideologi yang menentang arus Republik.
Peristiwa Madiun 1948 menjadi peringatan abadi bahwa bangsa yang baru lahir dari penjajahan bisa hancur oleh perpecahan dari dalam. Amir Syarifuddin, seorang pemimpin cerdas yang terjerumus ke jurang ideologi radikal, berakhir tragis di ujung moncong senapan di tanah yang dulu ia perjuangkan untuk merdeka.
Sumber : Okezone.com
(***)