19 September 1948 : Ikut Sukarno Hatta atau PKI Muso.
Pada pagi yang mencekam tanggal 19 September 1948, udara Yogyakarta dipenuhi ketegangan. Di corong RRI, suara lantang Presiden Sukarno menggema ke seluruh pelosok negeri. Sebuah pidato yang menggetarkan hati rakyat:
> “Ikut Muso dengan PKI-nya, atau ikut Sukarno-Hatta?”
Pertanyaan itu bukan sekadar pilihan politik, melainkan demi nasib bangsa. Rakyat Indonesia terperangah. Baru kemarin mereka mendengar kabar bahwa PKI di bawah pimpinan Muso telah melakukan kudeta di Madiun, merebut kekuasaan, dan membangun Pemerintahan Soviet yang menentang Republik.
Sementara itu, di balik layar, Belanda tengah bersiap melancarkan operasi militer besar-besaran, dengan sandi “Operatie Kraai” (Operasi Burung Gagak), untuk merebut Yogyakarta—ibu kota Republik saat itu. Maka bagi kaum republiken, tindakan Muso dan pengikutnya dianggap tikaman dari belakang di tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pidato Sukarno yang Menggetarkan Jiwa Bangsa
Dalam pidatonya, Sukarno menegaskan bahwa pemberontakan PKI di Madiun bukanlah peristiwa kecil, melainkan bagian dari rangkaian tindakan untuk merobohkan Pemerintah Republik Indonesia. Dengan suara penuh emosi, ia menyampaikan kepada rakyat:
> “Saudara-saudara, camkan benar-benar apa artinya: Negara Republik Indonesia yang kita sayangi hendak direbut oleh PKI Muso.”
Ia menutup pidatonya dengan pilihan yang menggugah:
> “Ikut Muso dengan PKI-nya yang akan membawa bangkrutnya cita-cita Indonesia Merdeka, atau ikut Sukarno-Hatta yang insya Allah dengan bantuan Tuhan akan memimpin Indonesia yang merdeka, tidak dijajah oleh negeri apa pun juga.”
Pidato itu menjadi seruan moral dan ideologi, membelah garis antara merah dan putih, antara Republik dan pemberontakan.
Pertempuran dan Tumbangnya Muso
Beberapa hari setelah pidato tersebut, pasukan Siliwangi yang baru hijrah dari Jawa Barat dikerahkan ke Madiun. Mereka menumpas pemberontakan dengan cepat. Dalam waktu beberapa pekan, kekuatan PKI dilumpuhkan.
Muso, tokoh yang disebut-sebut karismatik namun keras kepala itu, akhirnya tewas tertembak di dekat sebuah WC umum di Madiun. Jenazahnya kemudian diarak ke Alun-Alun kota Madiun, untuk memastikan kepada rakyat bahwa berita kematian bukanlah kabar bohong.
Awalnya, jenazah Muso hendak dibawa ke Yogyakarta. Namun rencana itu dibatalkan karena kondisi tubuhnya yang mulai rusak. Dengan kematiannya, tamatlah kisah tragis seorang ideolog komunis yang sempat mengadu nasib ke Moskow, lalu kembali ke Indonesia dengan ambisi besar.
Tragedi Kemanusiaan di Takeran
Namun kekejaman pemberontakan PKI meninggalkan luka yang mendalam. Di Pesantren Takeran, perbatasan Magetan-Madiun, para kiai dan santri menjadi korban kekejaman pasukan berpakaian hitam dengan kacu merah di leher.
Kiai Mutaqien, pengasuh pondok, diculik dan tak pernah ditemukan. Beberapa bulan kemudian, tujuh sumur tua di tengah perkebunan tebu ditemukan berisi mayat para ulama, santri, pejabat, dan rakyat biasa yang dianggap anti-komunis.
Mereka dibawa dengan lori, dieksekusi, dan dilempar ke dalam lubang-lubang maut itu.
Tragedi ini noda menjadi kelam dalam sejarah bangsa, ketika darah anak negeri sendiri menodai tanah perjuangan yang baru saja merdeka.
Bayang-Bayang Sejarah yang Terulang
Tujuh belas tahun kemudian, bayang-bayang Madiun seakan hidup kembali. Pada tanggal 30 September 1965, tokoh PKI lainnya, DN Aidit, yang juga anak dari seorang ulama kampung di Belitung, kembali menggemparkan Republik dengan Gerakan 30 September (G30S).
Sejarah seolah berulang. Dan seperti Muso, Aidit pun menemui akhir yang tragis, ditembak mati di Boyolali, di dekat sebuah sumur tua yang seolah-olah sumur-sumur maut itu menjadi Saksi abadi pengkhianatan yang tak pernah benar-benar hilang.
Akhir yang Membekas
Peristiwa Madiun 1948 bukan sekadar catatan sejarah, melainkan pelajaran tentang betapa rapuhnya persatuan bangsa di tengah badai ideologi. Dari sana, Indonesia belajar bahwa kemerdekaan bukan hanya melawan soal penjajah, tetapi juga tentang melawan perpecahan dari dalam.
Suara Sukarno yang menggema di RRI hari itu masih terasa hingga kini sebuah seruan untuk berpihak pada Republik, untuk berdiri di sisi merah putih, bukan di bawah bendera merah palu arit.
Sumber : Republika.co.id
(***)