Cerita Sadis Belanda yang Memotong Jasad Tokoh Sakti Kediri
Ki Boncolono kesohor sebagai tokoh sakti di wilayah Kediri, Jawa Timur. Sepak terjang Ki Boncolono telah mengusik ketenangan kompeni Belanda beserta antek-anteknya.
Tanpa rasa gentar, harta kekayaan kompeni dan antek-anteknya, ia satroni. “Ki Boncolono adalah pencuri yang ambigu dalam tindak tanduk susilanya, tetapi sakti mandraguna,” tulis peneliti asing George Quinn dalam buku kisah “Wali Berandal Tanah Jawa”.
Saat itu paska perang Jawa (1825-1830). Untuk mengisi kas negara yang terkuras akibat perang, Belanda menerapkan kebijakan tanam paksa.
Rakyat dipaksa menanam komoditi yang sedang laris di pasar Eropa. Kopi, teh, tembakau dan cengkeh dengan hasil panen sepenuhnya kompeni yang diatur.
Rakyat yang cocok ditanam di tanahnya sendiri masih juga dikenai pajak kepala. Ki Boncolono tidak suka melihatnya. Ia pun bergerak menyatroni antek-antek penjajah yang merugikan rakyat.
Sebagian masyarakat Kediri meyakini Ki Boncolono adalah Maling Gentiri. Seorang maling budiman layaknya legenda Brandal Lokajaya di jaman Kerajaan Majapahit.
Maling Gentiri usai beraksi selalu membagi-bagikan hasil jarahan kepada rakyat jelata yang hidupnya sengsara.
Dalam “Wali Berandal Tanah Jawa”, Maling Gentiri dikisahkan memiliki saudara Maling Kapa, ??yang usianya lebih tua. Dua bersaudara ini merupakan maling sakti yang selalu beroperasi di malam hari.
Keduanya adalah murid Sunan Ngerang, seorang ulama besar di kawasan pesisir Juwana, Jawa Tengah. Mereka mengunduh ilmu kesaktian dari gurunya, dan saat beraksi hanya menyasar orang-orang kaya yang zalim.
“Sebagai hamba agama yang saleh, tentu saja hasil yang mereka kirimkan kepada fakir miskin dan orang yang sedang mengalami kesusahan,” demikian yang tertulis dalam “Wali Berandal Tanah Jawa”.
Di Kediri, Ki Boncolono atau Maling Gentiri mendapatkan sekutu Tumenggung Mojoroto dan Tumenggung Poncolono beserta murid-muridnya. Aksi penjarahan antek-antek kompeni semakin merajalela.
“Belanda pun marah dan memerintahkan antek-anteknya untuk mengejar hidup atau mati,” demikian cerita yang beredar.
Kompeni Belanda mengeluarkan ultimatum, Ki Boncolono harus ditangkap hidup atau mati. Namun meringkus Ki Boncolono tidak mengulangi telapak tangan.
Selain sakti, rakyat Kediri mencintai Ki Boncolono dan karenanya selalu melindunginya. Hal itu yang membuatnya sulit ditangkap.
Pencuri budiman itu selalu berhasil meloloskan diri. Konon, cukup mengandalkan seberkas cahaya, ia bisa menyusup ke dalam bangunan melalui lobang sekecil apa pun.
Ki Boncolono cukup mendekatkan tubuhnya ke tembok, tiang, atau pohon, pengejarnya akan kehilangan jejak. Ia juga kebal. Kalau pun ambruk diterjang peluru, ia akan hidup lagi, sehat seperti sedia kala.
“Dia bisa hidup lagi ketika tubuhnya menyentuh tanah,” begitu yang tertulis dalam “Wali Berandal Tanah Jawa”. Desas-desus yang berkembang, Ki Boncolono menguasai ilmu pancasona atau rawa rontek. Sebuah ilmu kuno yang pemiliknya sulit mati selama anggota tubuhnya menyentuh tanah.
Kompeni Belanda tidak kekurangan akal. Kompeni menggelar sayembara berhadiah uang kepada siapa saja yang berhasil meringkus Ki Boncolono hidup atau mati.
Sejumlah pendekar pribumi berminat berburu hadiah. Ki Boncolono berhasil terkepung dan rahasia kematian dibocorkan kepada kompeni.
Tubuh Ki Bocolono dipotong menjadi dua bagian dan dipisahkan oleh sungai Brantas. Kesaktian ilmu Pancasona akan hilang selama tubuh yang terpotong tersebut dipisahkan sungai.
Dalam catatannya, peneliti asing George Quinn sempat mengunjungi bukit Maskumambang. Sebuah kawasan perbukitan yang berada di wilayah Kecamatan Mojoroto, yakni sebelah barat Kota Kediri.
Kawasan ini terletak di sebelah barat Sungai Brantas. Di puncak bukit yang berketinggian sekitar 350 meter itu, kompeni Belanda konon memakamkan jasad Boncolono. Jasad yang tidak ragu-ragu.
“Makam Ki Boncolono terbujur dari utara ke selatan, bersebelahan dengan Makam Tumenggung Poncolono yang diduga adik Boncolono dan Tumenggung Mojoroto, penghuni awal (cikal bakal) kawasan Kediri,” tulis George Quinn.
Pada tahun 2004 situs Makam Ki Boncolono di Maskumambang dipugar. Renovasi diikuti pembangunan anak tangga beton sebanyak 555 buah hingga sampai puncak bukit Maskumambang.
Dalam buku “Wali Berandal Tanah Jawa” tertulis, pemugaran dilakukan setelah keturunan keluarga besar Boncolono menyerahkan situs Boncolono kepada Pemkot Kediri.
Penyerahan ditandai dengan sebuah prasasti pada gapura Makam Boncolono. Tertulis nama Japto Soerjosoemarno selaku kepala keluarga besar keturunan Boncolono, penanda sekaligustangan prasasti.
Japto merupakan pimpinan tertinggi ormas Pemuda Pancasila (PP). “Pak Japto adalah keturunan Boncolono angkatan ketujuh”. Lalu di mana kumpeni Belanda menguburkan kepala Ki Boncolono?.
Kompeni Belanda konon menguburkan kepala Ki Boncolono di sebuah punden (makam) yang bernama punden Ringin Sirah, Kota Kediri,
Nama Ringin Sirah Merujuk pada pohon beringin tua yang tumbuh di sana. Lokasi tersebut berada di timur Sungai Brantas, tepatnya di persimpangan jalan antara Jalan Hayam Wuruk dan Jalan Joyo Boyo Kota Kediri.
Peneliti asing George Quinn mendapat asumsi dari sejumlah warga Kediri yang berada di punden Ringin Sirah.
Bahwa tampilan tubuh dan kepala Ki Boncolono di sisi Sungai Brantas yang berseberangan adalah simbol tampilan pemimpin dengan rakyatnya. Pemisahan antara kawula dan gustinya.
“Dengan cara begitu mereka melumpuhkan rakyat Indonesia. Diceraikannya pemimpin dari rakyat dengan tujuan untuk menjajah kami dan wilayah kami,” tulisnya,
(***)