Amaq Nurisah

Amaq Nurisah
dan 25 Pejuang Sesela Gemparkan Hindia Belanda. 128 Tahun Lalu, Hari ini.
Hari itu, Senin, 16 Agustus 1897, dua pejabat kolonial, RO Van der Hout, kontrolir Lombok Barat, dan P. de Roo de la Faille, pengawas agraria bersama beberapa pengawal dan seorang juru tulis, berangkat dari Ampenan menuju Desa Sesela untuk menertibkan warga yang menolak membayar pajak.
Seperti biasa, mereka melangkah dengan kepercayaan penuh pada kekuasaan mereka: dada membusung dan meliput tajam, berharap setiap mata yang melihat akan tunduk pada ketakutan.
Di ujung jalan Desa Sesela, seorang pria paruh baya berdiri dengan gagah, menghadang mereka. Namanya Amaq Nurisah—seorang ulama kharismatik yang dikenal keras kepala terhadap penjajah. Saat diperintahkan menyerah, ia justru mengamuk dengan kelewang di tangannya.
Warga Sesela yang melihat kejadian itu segera bersorak. Dalam hitungan menit, tanah lapang berubah menjadi lautan darah. Van der Hout meninggal di tempat dengan luka mengerikan.
The Preanger Usher mencatat: 44 luka, termasuk lima tusukan keris di dada, delapan pukulan tajam di kepala, lengan kiri terpotong hingga hanya tersisa ibu jari. Wajahnya dimutilasi dan menutupi bunga. Sementara De Roo de la Faille, meski terluka parah, berhasil melarikan diri.
Berita perlawanan itu menggemparkan seluruh Hindia Belanda. Kabarnya segera menyebar ke Batavia hingga ke negeri Belanda. Nieuwe Tilburgsche Courant, Koloniaal Verslag, hingga Oesterreichische Monatsschrift menyorotnya sebagai tragedi kolonial terbesar tahun itu. Pemerintah kolonial merespons dengan cepat; dari Ampenan, pasukan militer dikerahkan di bawah komando Walikota NC van Heurn dan Kapten Hartmann.
Sesampainya di Sesela, mereka menemukan para pelaku masih bersenjata, berdiri dalam lingkaran doa. Mereka diminta menyerahkan diri, namun menolak. Pertempuran pecah. Sesela dibanjiri darah.
Amaq Nurisah dengan Batek Lapahnya kembali melakukan perlawanan, namun ia gugur bersama 25 pejuang Sesela. Mereka hidup sampai akhir, memilih mati dalam kehormatan daripada hidup dalam memikirkan. Sebagai balasannya, Belanda membakar Desa Sesela. Di pihak kolonial, satu fusilier pribumi tewas dan beberapa luka.
Pemerintah Hindia Belanda menyebut kejadian ini sebagai “amoek” — serangan pembohong tanpa kendali.
Dari kacamata rakyat Sasak, ini adalah puncak dari kemarahan atas ketidakadilan yang menyesakkan dada: pajak yang memberatkan rakyat, legalisasi candu yang merugikan masyarakat, hingga kesewenangan terhadap urusan adat dan agama.
Meski dicap kriminal oleh Belanda, Amaq Nurisah dan 25 warga Sesela lainnya adalah pejuang sejati. Mereka adalah simbol perlawanan atas penjajahan di bumi Sasak.
Mirisnya, nama Amaq Nurisah dan 25 pahlawan Sesela nyaris tenggelam dalam senyap sejarah. Tak satupun monumen didirikan untuk mengenang mereka. Tak ada tugu di tikungan desa, tak ada tulisan di ujung jalan. Padahal darah mereka pernah mengaliri tanah ini demi satu hal: tegakmya pemandangan di bumi Sasak.
Hari ini, mengenang 128 tahun Amoek Sesela, tidak hanya sebagai bukti perlawanan masyarakat Sasak terhadap bersumpah penjajah, tetapi juga sebagai pengingat, bahwa ketika hak hak rakyat diinjak dan bumi dicengkeram penguasaan, keberanian dapat lahir dari sudut sudut kampung, bermodalkan kelewang dan doa yang ditenun dalam tekad rakyat yang tertindas.
Sumber: Sejarah Perlawanan (Lalu Wacana), Radio Mataram (Buyung Sutan Muhlis),
(***)