Senja di Batanghari: Runtuhnya Dharmasraya

Negeri Emas di Hulu Sungai
Di tepian Sungai Batanghari, berdirilah negeri yang makmur: Kerajaan Dharmasraya. Dari hulu hingga muara, perahu dagang membawa lada, emas, dan kapur barus. Rakyatnya pandai menulis, pandai berdagang, pandai mengukir patung Buddha yang besar.
Di istananya, raja memerintah dengan gelar Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa, pemerintahan yang diagungkan sebagai titisan para dewa.
Namun, kejayaan itu perlahan memudar. Sriwijaya, induk kekuasaan Sumatra, telah melemah. Negeri-negeri Melayu terpecah, saling berebut wilayah. Dari seberang lautan, ancaman pun datang.
Layar Hitam dari Timur
Tahun 1275, angin musim barat membawa kabar buruk: Raja Kertanegara dari Singhasari di Jawa Timur telah bersumpah memperkuat kekuasaannya. Sebuah armada perang, Ekspedisi Pamalayu, dikirim melintasi Selat Malaka menuju Sumatra.
Berbulan-bulan pasukan Jawa berlayar, menelusuri sungai-sungai berlumpur dan hutan bakau yang rapat. Di atas perahu perangnya, para prajurit Singhasari membawa tombak panjang dan panji-panji bergambar naga emas.
Di istana Dharmasraya, para pendeta membacakan pertanda di langit: bintang jatuh, hujan yang tak berhenti. Raja memanggil nasihatnya:
“Apakah ini saatnya negeri kita runtuh?”
Senja Terakhir di Istana
Ketika pasukan Jawa menjejak daratan Sumatra, benteng-benteng di tepi sungai satu demi satu roboh. Prajurit Dharmasraya melawan dengan gagah, tapi jumlah mereka tak sebanding. Api membakar lumbung padi, asap hitam membubung ke langit.
Di dalam balairung istana, Raja Dharmasraya memanggil kedua putrinya: Dara Jingga dan Dara Petak. Rakyat Tangis terdengar sampai di ambang pintu. Ia tahu, inilah harga sebuah kekuatan yang tak bisa bertahan melawan zaman.
Dengan suara berat, sang raja berkata:
“Pergilah kalian. Jika negeriku harus jatuh, biarlah darah kita tetap hidup di seberang laut.”
Malam itu, perjanjian dibuat: Persetujuan Kerajaan Dharmasraya di Singhasari. Dua putri kerajaan akan dibawa ke Jawa sebagai ikatan sumpah damai.
Air Sungai yang Membawa Takdir
Saat fajar merekah, dua putri Melayu menaiki perahu yang sudah menunggu di dermaga. Dara Jingga menangis diam-diam. Dara Petak menggenggam segumpal tanah sungai Batanghari, seakan ingin membawa sebagian negerinya.
Di tepi pelabuhan, rakyat berkumpul menyaksikan lambang kerajaan diturunkan. Untuk pertama kalinya dalam generasi, Dharmasraya bukan lagi kerajaan merdeka.
Negeri yang Hilang, Darah yang Tersisa
Kerajaan Dharmasraya pelan-pelan tenggelam dalam kabut sejarah. Istana pun akhirnya runtuh, hanya meninggalkan prasasti dan cerita rakyat. Tapi darah Dharmasraya terus mengalir:
Dara Jingga menikah dengan pejabat tinggi di Jawa.
Dara Petak permaisuri menjadi Raden Wijaya, pendiri Majapahit.
Dari rahimnya lahir Jayanegara, raja kedua Majapahit.
Sejarah mencatat: meski kerajaan bisa jatuh, warisan tak pernah padam.
(***)