Rumah Itu Masih Menunggumu????


Di sebuah desa kecil yang dikelilingi sawah dan pepohonan rindang, hiduplah sepasang kakek-nenek bernama Karto dan Suminah. Rumah mereka sederhana, berdinding kayu tua yang sudah mulai lapuk di beberapa sudutnya. Dulu, rumah itu selalu ramai oleh suara tawa anak-anak dan aroma masakan Suminah yang menguar sampai halaman. Namun kini yang terdengar hanya suara angin berdesir di antara daun bambu, dan suara burung yang sesekali hinggap di atap.


Anak-anak mereka semua merantau ke kota. Katanya untuk mencari rezeki, membangun masa depan. Awalnya, setiap minggu mereka masih mengirim kabar, menanyakan kesehatan, bahkan sesekali mengirim uang untuk kebutuhan sehari-hari. Namun seiring berjalannya waktu, kabar itu semakin jarang. Panggilan telepon yang dulu setiap malam Minggu, kini berganti menjadi pesan singkat yang terkadang tak berbalas.


Karto sering duduk di kursi bambu di teras, menatap jalan bertingkat yang menuju ke rumahnya. Setiap suara motor yang lewat, ia akan sedikit menegakkan badan, berharap anak-anaknya pulang. Tapi biasanya, motor itu hanya melintas, meninggalkan debu yang lebih baik.


Suminah tak kalah rindunya. Setiap kali ia menanak nasi, tanpa sadar ia masih menakar banyak, seperti saat anak-cucu masih tinggal di rumah. Uap nasi yang mengepul membuat matanya berkaca-kaca bukan karena panas, tapi karena ingatan masa lalu yang menyeruak begitu saja.


Hari demi hari berlalu, tubuh mereka semakin renta. Kadang-kadang, ketika hujan turun deras, atap rumah yang bocor membuat lantai menjadi becek. Karto berusaha menambal, tapi tenaganya tak seperti dulu. Suatu malam, Suminah jatuh di dapur karena lantainya licin. Untunglah ia masih bisa bangun perlahan, meski lututnya memar. Tak ada yang tahu kejadian itu, bahkan anak-anak mereka di kota.


Namun, mereka berdua tak pernah mengeluh. Kalau ada tetangga bertanya, Karto hanya tersenyum, “Anak-anak sibuk kerja, biar saja… yang penting mereka sehat.” Tapi di dalam hati, kerinduan itu terasa menyesakkan. Mereka hanya ingin mendengar suara cucu memanggil, “Mbah!” sambil berlari memeluk.


Sampai suatu hari, di malam yang sunyi, Karto batuk keras hingga dadanya terasa sesak. Suminah panik, berlari ke rumah tetangga untuk meminta pertolongan. Karto dibawa ke puskesmas terdekat. Malam itu, salah satu tetangga menghubungi anak-anak Karto dan Suminah.


Kabar itu membuat mereka terdiam di tengah kesibukan masing-masing. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba menyeruak. Selama ini mereka terlalu sibuk mengejar karir, menabung untuk masa depan, sampai lupa bahwa masa depan itu tak selalu tentang harta, kadang hanya tentang memeluk orang tua sebelum waktu tak lagi mengizinkan.


Malam itu juga, di grup keluarga yang selama ini sepi, anak-anak Karto mulai berbicara. Mereka saling menyalahkan, menangis, dan akhirnya sepakat, minggu depan mereka semua pulang. Tak hanya pulang, mereka akan membawa pasangan, anak-anak, dan waktu yang sepenuhnya mereka berikan untuk orang tua.


Hari yang dinanti pun tiba. Pagi itu, Karto sedang duduk di teras, Suminah menyapu halaman. Dari kejauhan, suara deru mobil dan motor terdengar. Saat dilihat, ternyata itu anak-anak mereka. Satu per satu turun, diikuti cucu-cucu yang berlarian memeluk kakek-neneknya. Air mata Karto dan Suminah pecah seketika, tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan bahagia yang tak terbendung.


Mereka menghabiskan hari itu dengan makan bersama di halaman rumah. Nasi liwet, ayam goreng, sambal, dan sayur lodeh memenuhi meja. Anak-anak bercanda, cucu-cucu bermain, dan Karto hanya duduk menatap semuanya sambil berbisik pada Suminah, “Inilah yang kita tunggu selama ini…”


Namun, di tengah tawa itu, ada satu hal yang tak diketahui siapa pun kecuali Karto. Dokter kemarin berbaring bahwa penyakit di dada sudah parah. Tapi dia memilih diam. Ia tak ingin kebahagiaan hari itu ternodai. Baginya, momen melihat anak-anak berkumpul lebih berharga daripada apa pun.


Malamnya, ketika semua sudah tertidur, Karto menatap langit berbintang. Ia berdoa pelan, “Ya Allah, terima kasih… walau sebentar, Kau kembalikan kebahagiaan ini.” Senyum tipis terukir di bibir. Dan entah kebetulan atau takdir, malam itu ia tidur nyenyak sekali, nyenyak seperti tak pernah lagi merasa sakit.


Esok paginya, Suminah membangunkannya untuk sarapan. Tapi Karto tak bergerak. Wajahnya damai, seolah dia pergi dengan tenang. Suminah menangis, anak-anak terkejut, cucu-cucu bertanya-tanya. Namun di antara kesedihan itu, mereka menyadari satu hal. Karto telah memberi mereka pelajaran paling berharga: jangan menunda pulang, karena waktu tak pernah menunggu.


Sejak hari itu, anak-anak Suminah tak pernah lagi membiarkan rumah itu sepi. Mereka bergiliran pulang, menjaga, dan merawat sang ibu yang kini sendirian. Dan di setiap pertemuan keluarga, mereka selalu menceritakan kembali momen mudik terakhir bersama Karto, hari yang mengajarkan bahwa keluarga bukanlah urusan nanti, tapi urusan hari ini.