Tiga Ksatria yang Gugur : Darah Pengkhianat atau Korban Politik Majapahit?
Pada masa awal berdirinya Kerajaan Majapahit, saat istana masih dibangun di tengah rerimbun hutan Tarik, berdirilah tiga nama besar: Nambi, Lembu Sora, dan Ranggalawe. Mereka bukan rakyat bias mereka adalah para sahabat, panglima, dan pelindung Raden Wijaya, sang pendiri Majapahit.
Namun takdir berkata lain.
Mereka yang dulu mengangkat senjata demi takhta Majapahit, kelak malah dianggap musuh, dikhianati, dan dibunuh oleh kerajaan yang mereka lahirkan sendiri.
Nambi Patih Agung yang Tersingkir
Nambi adalah putra Mahesa Kampingan, bangsawan Singhasari yang setia. Ia menjadi Patih Amangkubhumi (perdana menteri) pertama di bawah Raden Wijaya. Pandai berdiplomasi, cerdas, dan setia, Nambi menjalankan pemerintahan saat raja fokus pada pembangunan dan stabilitas.
Namun, nama Mahapati Halayudha masuk ke dalam gelanggang. Ia licik dan ambisius menghasut raja agar percaya bahwa Nambi bersekongkol untuk merebut takhta.
Nambi pun bermaksud memberontak di Lumajang, lalu menyerang atas perintah raja. Dalam pertempuran tragis, Nambi gugur, bukan karena ia bersalah, tapi karena ia terlalu dipercaya... dan terlalu lambat melihat pengabdian.
Lembu Sora Ksatria Tua yang Tak Mau Diam
Lembu Sora adalah tokoh senior, teman lama Ken Arok dan mantan panglima Singhasari. Ia terkenal karena keberanian dan kejujurannya, namun terkadang terlalu blak-blakan.
Ketika mendengar Nambi dilanda karena fitnah, Lembu Sora murka. Ia berkata lantang bahwa kematian Nambi adalah ketidakadilan. Ucapan ini sampai ke telinga Raja Jayanegara, yang menggantikan Raden Wijaya.
Tak butuh lama, Halayudha kembali bermain. Ia menuding Lembu Sora hendak membalas dendam. Dalam situasi yang panas, pasukan Majapahit dikirim, dan Lembu Sora pun dibunuh, tanpa pernah benar-benar memberontak.
Ranggalawe Putra Tuban yang Dikhianati Janji
Berbeda dari Nambi dan Sora, Ranggalawe adalah ksatria muda dari Tuban, putra Arya Wiraraja. Ia berani, bersemangat, dan ikut berpartisipasi dalam menggagalkan serangan Mongol ke Jawa.
Ketika Majapahit berdiri, ia berharap akan diangkat menjadi Patih. Namun posisi itu jatuh ke tangan Nambi. Ranggalawe kecewa. Ia merasa tidak dihargai, meski telah berjuang dengan nyawa.
Ia pun pemberontakan di daerah Tambak Beras. Majapahit mengirim pasukan untuk menghentikan. Dalam duel sengit di Sungai Tambak Beras, Ranggalawe gugur, tenggelam dalam air keruh yang merah oleh darahnya sendiri.
Akhir Tragis dan Pelajaran Politik
Ketiganya Nambi, Lembu Sora, dan Ranggalawe dibunuh bukan karena kejahatan, melainkan karena politik kekuasaan, fitnah, dan permainan ambisi orang-orang di dalam istana.
Halayudha, yang berada di balik intrik-intrik itu, akhirnya pun ditangkap dan dihukum mati, karena terbukti menebar fitnah untuk memperkuat posisinya.
Majapahit berdiri kokoh di atas darah para permulaan awalnya sendiri.
(***)