Kisah Brigjen Supardjo: Dari Perwira Lapangan ke Tiang Eksekusi



Di sebuah kampung di Gombong, Kebumen Jawa Tengah tahun 1923, lahir seorang anak yang kelak menjadi Saksi, korban sekaligus pelaku pergolakan tragedi kelam sejarah Indonesia: Soepardjo. Ia tumbuh di tengah suasana penjajahan, lalu bergabung dalam barisan pemuda bersenjata ketika Republik diproklamasikan tahun 1945. Seperti banyak pemuda saat itu, senjata bukan hanya alat, melainkan simbol harga diri.

Supardjo berkembang menjadi perwira lapangan yang berani, setia pada komando, dan tegas terhadap anak buah. Karier militernya tidak mengatur jenderal-jenderal elit di Jakarta, tetapi cukup untuk mengantarkannya ke Letnan Brigadir Jenderal TNI-AD. Ia pernah memimpin operasi di Jawa Barat, bertugas di Sumatera, hingga dikirim ke Kalimantan dalam menghadapi Indonesia–Malaysia.

Namun hidupnya ketika berubah arus politik nasional semakin panas. Di satu sisi, Presiden Sukarno ingin menjaga keseimbangan antara militer dan PKI. Di sisi lain, Angkatan Darat, terutama Jenderal Nasution dan Ahmad Yani, kerap disembah dengan Sukarno. Isu “Dewan Jenderal” pun menyeruak—kabarnya, sejumlah jenderal akan menyatukan Bung Karno.

Supardjo masuk ke dalam pusaran itu. Ia terhubung dengan Letkol Untung, Kolonel Latief dan tokoh-tokoh PKI yang sedang merencanakan “aksi G30S" atau gerakan pembunuhan terhadap 7 jenderal. Kehadirannya penting: ia seorang jenderal aktif, pangkat yang memberi bobot politik pada gerakan tersebut.


Malam 30 September 1965, di Lubang Buaya, Supardjo hadir. Ia berdiri di tengah pasukan yang masih muda, sebagian anggota Cakrabirawa, sebagian lainnya pasukan yang menggerakkan PKI. Dengan suara lantang ia memberi semangat, menegaskan bahwa gerakan ini untuk menyelamatkan Presiden. Bagi banyak tentara muda, kehadiran seorang brigjen membuat mereka yakin bahwa operasi ini sah dan resmi.

Namun keesokan paginya, situasi berbalik. Walikota Jenderal Soeharto bergerak cepat menguasai markas besar Angkatan Darat. Gerakan 30 September kacau, tidak ada komando yang jelas, tidak ada rencana lanjutan. Supardjo sendiri kecewa. Ia melihat langsung kebingungan para pemimpin gerakan.

Hari-hari berikutnya ia melarikan diri ke Jawa Barat. Ia hidup dalam persembunyian, berpindah dari satu tempat ke tempat lain, hingga akhirnya tertangkap pada Januari 1967.

Di hadapan Mahkamah Militer Luar Biasa, Supardjo tampil tenang. Ia tidak menyangkal keterlibatannya, tetapi justru mengkritik kelemahan rekan-rekannya. Dari tangannya lahir analisis sebuah kelak yang dikenal sebagai “Naskah Supardjo”, yang menggambarkan bagaimana G30S gagal karena kurangnya strategi dan miskin kepemimpinan.


Vonis akhirnya mendapat hukuman mati.

Tahun 1970, di sebuah tempat eksekusi yang dirahasiakan, Brigjen Supardjo berdiri menghadapi regu tembak. Tubuhnya tegak, wajahnya tidak menunjukkan gentar. Dentuman senjata penutup menjadi perjalanan seorang perwira yang terjebak dalam badai politik—perwira yang namanya tercatat sebagai satu-satunya Jenderal Angkatan Darat yang ikut langsung dalam G30S/PKI dan berakhir di tiang eksekusi.

---

#sejarahkelam #indonesia #brigjensupardjo #fyp